"Format jurusan kan baru saja dihapus dalam kurikulum merdeka, kita belum lihat dampak dan efektivitasnya termasuk evaluasi IKM secara komprehensif belum ada. Menghidupkan kembali jurusan IPA/IPS terkesan tanpa kajian matang," kata Satriwan dalam keterangan tertulis, Senin, 14 April 2025.
P2G menilai ada aspek plus minus menghidupkan kembali skema Jurusan IPA, IPS, Bahasa di SMA. Berikut plus minusnya:
Aspek positif
Pertama, sekolah sudah mempunyai pengalaman untuk mengelola penjurusan IPA, IPS, Bahasa di sekolah. Sebab, skema penjurusan di SMA sudah ada sejak Kurikulum 2006, Kururikulum 2013 bahkan sejak Kurikulum 1994.Kedua, siswa memilih mata pelajaran sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan belum tercapai. Masih banyak SMA menerapkan skema pembuatan Menu atau Paket mata pelajaran. Ada lima paket menu matpel, yakni Cita Rasa Matpel MIPA; Cita Rasa Matpel IPS; Campuran MIPA dan IPS; Campuran MIPA dan Bahasa; dan Campuran IPS dan Bahasa.
"Dalam praktik implementasi kurikulum merdeka di SMA, lima paket menu di atas terjadi, banyak faktor penyebab di antaranya kekurangan guru dan disinformasi tata kelola kurikulum. Nah sekarang, rumpunnya makin diperjelas dan sederhana," kata Satriwan.
Ketiga, melalui jurusan IPA, IPS, Bahasa, anak dapat fokus belajar ke dalam satu kelompok rumpun ilmu pengetahuan secara spesifik. Misal, siswa jurusan IPA hanya fokus belajar matematika, biologi, kimia, dan fisika.
"Adanya penjurusan begini, anak diharapkan betul-betul belajar mendalam dan kompetensinya terbangun pada tiap mata pelajaran serumpun," tutur Satriwan.
Baca juga: P2G Ingatkan Penghidupan Kembali Jurusan di SMA Jangan Cuma Asal Beda Kebijakan Nadiem vs Mu'ti |
Aspek negatif
Penerapan kembali jurusan IPA, IPS, Bahasa akan menghidupkan kembali kastaisasi rumpun mata pelajaran. Sejarah membuktikan saat penjurusan berkembang di kurikulum-kurikulum sebelumnya, jurusan IPA dinilai anaknya pintar dan pilihan, serta jadi jurusan paling favorit."Ada labeling bahwa anak IPA itu paling pintar, adapun jurusan IPS anaknya biasa saja bahkan yang tak terpilih di IPA masuk IPS dan Bahasa, pilihan sisa, persepsi itu yang terbangun puluhan tahun," tutur Satriwan.
Kedua, pengkotak-kotakan IPA, IPS, Bahasa tidak Relevan dengan perkembangan dunia keilmuan, dunia kerja, dan perubahan masyarakat global. llmu pengetahuan sudah bersifat multi dan interdisipliner.
"Penjurusan tiga kelompok itu rasanya agak jadul (obsolete), akan memilah kecerdasan anak secara absolut. Padahal tiap diri anak itu dapat punya potensi multiintelegensia, punya minat bakat yang bersifat lintas disiplin," kata Kabid Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri.
Ketiga, perubahan kebijakan pendidikan yang terkesan maju mundur di hampir tiap pergantian menteri pendidikan. Kebijakan yang belum menyentuh persoalan fundamental pendidikan nasional seperti kompetensi literasi, numerasi, sains anak Indonesia yang konsisten rendah bahkan makin buruk menurut PISA; rendahnya rata-rata lama sekolah 8,77 tahun; 60 persen SD dalam keadaan rusak; 4 juta lebih anak tidak sekolah; upah guru honorer jauh di bawah UMR; biaya pendidikan masih mahal, dan lain sebagainya.
"Diskontinu dalam kebijakan pendidikan dapat berakibat tidak baik, sebab acuannya bukan ke RPJPN dan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2025-2045. Menyebabkan kebingungan masyarakat, guru, siswa, dan orang tua," kata dia.
P2G menilai sekali lima tahun kebijakan pendidikan diubah-ubah sesuai selera menterinya dan perubahan seolah biner atau kontras ini justru akan menghambat upaya mencerdaskan kehidupan bangsa menuju Indonesia Emas 2045, karena tiap 5 tahun mulai dari 0 lagi, tak ada keberlanjutan (discontinue). Lebih menyedihkannya, sekali 5 tahun anak Indonesia akan selalu menjadi kelinci percobaan kebijakan pendidikan.
Keempat, akan merugikan anak/siswa khususnya untuk kelas 11 SMA sekarang yang akan ikut Tes Kemampuan Akademik (TKA) November 2025, yang mengambil rumpun campur IPA dan IPS tidak sesuai dengan pilihannya
"Sebenarnya, dengan adanya TKA penjurusan sudah tak relevan lagi secara otomatis. Sebab anak Kelas XI misal ambil pilihan matpel dengan formula Kurikulum Merdeka hingga saat ini: Biologi, Kimia, Bahasa Inggris, Sosiologi. Dia ingin ambil jurusan Kedokteran. Ya pada saat TKA matpel pilihan yang diteskan pastinya Biologi dan Kimia," jelas guru yang mengajar di Jakarta ini.
Kelima, Mendikdasmen Abdul Muti mengatakan pengembalian Jurusan IPA, IPS, Bahasa untuk mendukung TKA. Kabarnya, TKA disiapkan sebagai pengganti Jalur Prestasi/SNBP. Padahal dengan adanya TKA, penjurusan sudah tak relevan lagi secara otomatis.
Dia menyebut TKA banyak dampak negatifnya, seperti akan menyebabkan anak megalami demotivasi bahkan deligitimasi profesi guru dan proses pembelajaran. Karena, anak hanya akan mementingkan matpel yang diujikan dalam TKA dan rapor tidak lagi berguna lagi.
TKA akan menegasikan portofolio hasil prestasi non akademik dan akademik anak selama belajar. TKA mengakibatkan siswa hanya mengejar kemampuan kognitif. Pembelajaran di sekolah akan kembali difokuskan pada target capaian nilai TKA untuk 5 mata pelajaran utama, sama persis dengan kondisi UN dulu.
"Dengan adanya TKA sebagai pengganti SNBP jalur prestasi, pembelajaran di sekolah akan diisi drilling target capaian nilai TKA untuk 5 mata pelajaran utama. Mata pelajaran seni budaya, olahraga, agama, Pancasila rasanya menjadi tak penting bagi anak, sebab orientasinya 5 matpel TKA itu," kata Iman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id