"Mulai dari para praktisi pendidikan, masyarakat, orang tua, juga para pengambil kebijakan, dan tentu saja kajian-kajian akademik yang komprehensif," kata Mu'ti dalam Webinar Sosialisasi TKA, Jumat 11 Juli 2025.
Mu'ti menjelaskan kajian tersebut juga telah mempertimbangkan berbagai pro-kontra di masyarakat. Baik itu dari segi bentuk ujian hingga alat ukur penentu kelulusan siswa.
"Sehingga keputusan untuk menyelenggarakan tes kemampuan akademik itu merupakan jalan keluar dan jalan tengah di antara berbagai kelompok yang selama ini memang memiliki visi yang berbeda," sebutnya.
Baca juga: Tambahan Anggaran Kemendikdasmen Rp67,6 Triliun Disetujui DPR, untuk Apa Saja? |
Menurut dia, ada sebagian masyarakat yang berpendapat bahwa ujian itu tidak seharusnya dilakukan. Adapun argumen yang mendukung pendapat itu berkaitan dengan mutu pendidikan yang belum merata, hak asasi manusia, dan juga konsen dengan persoalan psikologis yang diadapi oleh para murid.
"Tapi juga ada kelompok yang berusaha dan berkeyakinan bahwa ujian itu diperlukan dalam rangka memberikan motivasi dan juga meningkatkan mutu pendidikan. Nah di antara berbagai pendapat yang ada itu, kami mencoba untuk mengambil jalan tengah dengan melenggarakan tes kemampuan akademik," jelasnya.
TKA, kata Mu'ti, dihadirkan sebagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tapi juga tak akan menekan para siswa dalam mengikuti TKA.
"Yang memang di dalamnya kita berusaha untuk bagaimana agar ikhtiar kita untuk meningkatkan mutu itu dapat bisa terus kita lakukan, tapi juga tidak ada anak-anak yang merasa tertekan karena kewajiban mengikuti ujian itu," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News