"Kami menghormati setiap keputusan peserta Program Organisasi Penggerak. Kemendikbud terus menjalin komunikasi dan koordinasi yang baik dengan seluruh pihak sesuai komitmen bersama, bahwa Program Organisasi Penggerak bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia," kata Evy saat dikonfirmasi, Rabu, 22 Juli 2020.
PP Muhammadiyah sendiri memutuskan mundur karena mempertimbangkan adanya kejanggalan dalam proses seleksi POP. Namun Evy membantah. Ia menegaskan, Kemendikbud telah menjalankan seluruh rangkaian perekrutan dengan baik.
Baca juga: Muhammadiyah Mundur dari Organisasi Penggerak, Ini Alasannya
"Program Organisasi Penggerak dilaksanakan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan independensi yang fokus kepada substansi proposal organisasi masyarakat. Evaluasi dilakukan lembaga independen, SMERU Research Institute, menggunakan metode evaluasi double blind review dengan kriteria yang sama untuk menjaga netralitas dan independensi. Kemendikbud tidak melakukan intervensi terhadap hasil tim evaluator demi memastikan prinsip imparsialitas," ujarnya.
Sebelumnya, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menyatakan mundur dari Program Organisasi Penggerak (POP) milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). PP Muhammadiyah menilai, kriteria pemilihan ormas yang lolos dalam POP tidak jelas.
"Persyarikatan Muhammadiyah tidak sepatutnya diperbandingkan dengan organisasi masyarakat yang sebagian besar baru muncul beberapa tahun terakhir dan terpilih dalam Program Organisasi Penggerak Kemendikbud," tulis Kasiyarno dalam keterangannya, Selasa 21 Juli 2020.
Baca juga: PP Muhammadiyah: Ada Ormas Tak Kompeten Masuk Organisasi Penggerak
Kasiyarno juga menjelaskan ada pula ormas yang tidak kompeten diterima dalam POP. Ormas tersebut tak memiliki kantor, staff hingga tak memiliki laporan keuangan yang jelas.
"Terus mereka laporan keuangan juga tidak jelas malah dapat bantuan kategori Gajah, di mana bantuannya itu sebesar Rp20 miliar. Bahkan ada organisasi penggerak dalam bentuk paguyuban, forum," ungkapnya.
Atas dasar itu pula, akhirnya dia mempertanyakan apakah POP ini layak untuk meningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Sebab penerimaan seleksinya tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel.
"Kita juga lihat ada program mereka yang namanya peran guru penggerak dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Apa itu? Yang seperti itu bakal dikerjakan tiga tahun? Apa layak seperti itu? Kondisi seperti itu Kita mempertanyakan, apakah proses verifikasi ini transparan," lanjut Kasiyarno.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News