Upaya perbaikan lingkungan terus dilakukan salah satunya lewat pendekatan kebudayaan. Desa Muaro Pijoan mulai bergerak untuk ambil bagian melestarikan kembali.
Desa yang terletak di Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi itu berada di sepanjang aliran Sungai Pijoan, anak Sungai Batanghari. Salah satu area yang cukup terkenal di desa itu ialah Lubuk Guci Emas.
Kepala Desa Muaro Pijoan, Yuhyandi, bercerita nenek moyang mereka percaya ada guci emas yang tersimpan di bawah sungai di area itu. Suatu saat, guci emas itu bakal muncul ke permukaan dan memberikan rezeki untuk anak cucu warga Muaro Pijoan.
Guci emas itu sampai kini belum muncul, namun Sungai Pijoan sudah memberikan rezeki pada warga yang berjumlah 470-an KK. Tercatat, ada 46 endemik ikan di Lubuk Guci Emas, seperti belida, betutu, baung, tapa, dan lainnnya.
.jpeg)
Lubuk Guci Emas. Medcom.id/Renatha Swasty
Masyarakat dengan mudah mengambil ikan. Sayang, kini ikan-ikan mulai sulit didapat. Ikan endemik juga mulai berkurang. Ini lantaran pengaruh tercemarnya Sungai Batanghari belum lagi warga yang mengambil ikan dengan cara tak benar seperti disetrum.
Mulai 2001, Yuhyandi bergerak mengajak pemilik lahan di sekitar Guci Emas untuk merawat lubuk di sana, tempat berkembang biak alami ikan. Baru pada akhirnya sekitar dua tahun lalu dibuka Desa Wisata Guci Emas setelah dia mengajak pemilik lahan masuk menjadi kelompok Sadar Wisata.
"Di era sekarang kan tidak mungkin berpikir guci emas muncul dan menjadi rezeki, kita berpikir mengubah mindset masyarakat bagaimana lubuk guci ini menjadi emas desa," kata Yuhyandi saat berbincang di Lubuk Guci Emas, Muaro Jambi, Rabu, 2 Agustus 2023.
Salah satunya, kata dia, merawat kembali sungai. Terawatnya sungai akan membuat ikan-ikan beragam spesies kembali hadir. Hal ini tentu menjadi rezeki masyarakat yang tidak lagi kesulitan mencari ikan.

Kepala Desa Muaro Pijoan, Yuhyandi. Medcom.id/Renatha Swasty
Lewat duduk bersama dan kesadaran masyarakat Desa Muaro Pijoan, warga sepakat membuat lubuk larangan di Guci Emas. Lubuk larangan sendiri merupakan adat budaya yang ditinggalkan nenek moyang mereka dan dihidupkan kembali.
"Lubuk larangan ini kawasan yang ada di aliran sungai yang kita jaga dengan aturan-aturan yang ditetapkan di desa bersama tokoh adat dan masyakat untuk dilarang merusak dan mengambil ikan di kawasan tersebut," jelas Yuhyandi.
Yuhyandi mengatakan dengan lubuk larangan, masyarakat tidak bisa lagi mengambil ikan di Lubuk Guci Emas. Mereka yang kedapatan mengambil ikan bakal dikenakan denda adat. Denda beragam, misalnya membayar satu ekor kambing.
Dia menyebut ke depan ketika ikan-ikan telah berkembang biak, mungkin bisa diambil. Tapi, hal itu juga mesti kesepakatan bersama dan melalui ritual-ritual.
Lubuk larangan di Guci Emas terdiri dari tiga zona, yakni zona utama dan dua zona penyangga. Masing-masing zona berukuran 300 meter.
Peneliti sekaligus dosen Universitas Jambi, Tedjo Sukmono, menyambut baik upaya Desa Muaro Pijoan membuat lubuk larangan. Dia menyebut ini merupakan salah satu cara untuk mengembalikan kelestarian ikan-ikan di Sungai Batanghari.
Sungai Batanghari sendiri tercatat memiliki 320 spesies ikan. Sayangnya, karena pencemaran sungai, kini banyak spesies ikan hampir punah, salah satunya belida.
Tedjo menyebut dalam biologi, lubuk larangan disebut juga konservasi insitu. Artinya, konservasi di tempat asli spesies. Dalah hal Lubuk Guci Emas, ikan berkembang biak dengan sendirinya di tempat aslinya.
"Lebih bagus di sini. Itu paling paling bagus," kata Tedjo.
Memantik lewat budaya
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan menggelar Kenduri Swarnabhumi 2023 untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hubungan kebudayaan dengan pelestarian lingkungan. Salah satunya lewat Ekspedisi Sungai Batanghari.Lewat ekspedisi ini diharapkan masyarakat tergerak untuk melihat kembali betapa pentingnya Sungai Batanghari untuk peradaban. Sehingga, mesti terus dijaga dan dilestarikan.
"Sepanjang aliran sungai itu ada peradaban-peradaban yang mau tidak mau dulu peradaban itu berkaitan erat dengan sungainya," kata Pamong Budaya Utama Kemendikbudristek Siswanto.

Pamong Budaya Utama Kemendikbudristek, Siswanto. Medcom.id/Renatha Swasty
Dia menyebut sungai merupakan benang merah atau nadinya ekosistem fisik. Bicara sungai tak cuma berbicara ikan di dalamnya tetapi juga lingkungan hidup, tumbuh-tumbuhan, dan manusia yang hidup di sekitarnya.
Pihaknya sengaja menggerakan masyarakat dengan memantik melalui kebudayaan. Sebab, cara-cara ini lebih dekat dengan masyarakat dan lebih terasa.
"Kita tidak bicara hanya soal hukum formal tapi juga hukum adat karena masyarakat lebih takut dengan hukum adat," tutur dia.
Dalam Festival Bebiduk Besamo dalam rangkaian Ekspedisi Batanghari, tim menyambangi Lubuk Guci Emas. Kegiatan juga diisi penanaman 1.500 pohon dan penebaran 50.000 bibit ikan nilam.
Diharapkan bibit pohon dan benih ikan itu bisa semakin membuat Guci Emas lestari dan masyarakatnya makmur, apalagi Guci Emas tengah dikembangkan menjadi desa wisata.
"Saya enggak berpikir kunjungan waktu itu hanya bagaimana bisa jaga lubuk guci dan sungainya," kata Yuhyandi.
Baca juga: Festival Bebiduk Besamo Meriahkan Ekspedisi Sungai Batanghari 2023 |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News