"Dengan menerapkan asas praduga tak bersalah dan berdasarkan keterangan yang telah dikeluarkan aparat penegak hukum, Ukrida memutuskan memberikan sanksi sementara yaitu skorsing kepada Saudara MFA," kata Rektor Ukrida Wani Devita Gunardi, melalui keterangan tertulis, Jumat, 8 Januari 2021.
Wani mengakui salah satu tersangka pemalsuan surat hasil PCR berinisial MFA merupakan mahasiswa aktif di kampusnya. Ia menegaskan, aksi dan tindakan MFA murni dilakukan atas nama pribadi dan di luar sepengetahuan Ukrida. Pada dasarnya, kata dia, tindakan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi di Ukrida.
"Ukrida sebagai insitusi pendidikan selalu menekankan pentingnya kejujuran, integritas dan kebenaran sebagai bagian dari kode etik mahasiswa," ungkapnya.
Ia mengatakan, sebagai mahasiswa, MFA tidak mempunyai hak dan kompetensi untuk menuliskan/menghasilkan administrasi medis, seperti resep, hasil lab, dan lain-lain. Ukrida sangat menyayangkan aksi MFA yang telah melanggar tata tertib dan kode etik mahasiswa.
"Dan berharap kejadian ini menjadi pelajaran berharga baginya dan bagi semua orang yang sedang menempuh pendidikan," ujarnya.
Ukrida akan mengikuti perkembangan kasus MFA hingga memiliki keputusan hukum yang tetap. Setelah ada kepastian hukum, Ukrida akan memberikan sanksi tegas. "Sampai sanksi yang terberat (drop out) sesuai ketentuan yang berlaku di Ukrida," tegas Wani.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya menangkap tiga pemuda pemalsu surat hasil tes PCR, MHA, 21; EAD, 22; dan MAIS, 21. Ketiganya berstatus mahasiswa.
"MHA mahasiswa kedokteran yang masih berpendidikan di salah satu universitas," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Kamis, 7 Januari 2021.
Baca: Pemalsu Surat Hasil PCR Berstatus Mahasiswa
Ketiganya ditangkap di lokasi berbeda. MHA diringkus di Bandung, Jawa Barat; EAD di Jakarta; dan MAIS di Bali.
Ketiga tersangka dikenakan Pasal 32 juncto Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dengan ancaman paling lama 10 tahun penjara. Kemudian, Pasal 35 juncto Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE, dengan ancaman 12 tahun penjara.
Terakhir, Pasal 263 KUHP tentang Tindak Pidana Pemalsuan Surat. Dengam ancaman maksimal enam tahun penjara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News