“Kalau di lihat dari datanya itu aman sekali. Sebagai contoh, nilainya itu jauh dari batas yang diizinkan dari WHO, jauh lebih kecil. Mungkin karena dikhawatirkan mencemari lingkungan, maka banyak yang bersuara sumbang terhadap peristiwa tersebut,” ujar dosen Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada (UGM), Haryono Budi Santoso, dalam diskusi PoLes (Podcast Lestari) dikutip dari laman ugm.ac.id, Selasa, 12 September 2023.
PLTN Fukushima Daiichi mengalami kecelakaan ledakan nuklir yang menewaskan setidaknya 18.000 orang pada 2011. Pemerintah Jepang melakukan restorasi dengan mendinginkan limbah reaktor dari PLTN Fukushima.
Air bekas pendinginan inilah yang diolah, kemudian dibuang ke laut lepas mulai Kamis, 24 Agustus 2023. “Itu jumlah total airnya banyak sekali, bahkan dikatakan bisa mencapai 50 ukuran kolam renang standar olimpiade," beber Haryono.
Dia menyebut air dilepas bertahap. Namun, terjadi kekhawatiran air itu akan mencemari lautan, terutama di Samudera Pasifik.
"Pemerintah Cina secara resmi melarang mengonsumsi produk-produk laut dari Jepang. Padahal, Cina dan Hong Kong itu merupakan pasar terbesar produk lautnya Jepang dengan konsumsi 42 persen dari total produk laut Jepang,” ungkap Haryono.
Sebagai tanggapan, Pemerintah Jepang mengeklaim air tersebut sudah aman dan mendapatkan izin dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). Haryono menjelaskan pemerintah Jepang awalnya berusaha menangani bencana tsunami dan gempa yang berujung memicu reaktor nuklir di PLTN Fukushima.
Kondisi darurat tersebut memerlukan proses pendinginan yang membutuhkan sumber energi listrik. Tapi, karena ada tsunami, seluruh aliran listrik pada saat itu padam. Maka, Pemerintah Jepang berusaha memadamkan reaktor nuklir menggunakan air laut yang tersisa.
Haryono menyebut air yang digunakan itu tidak bisa serta merta dibuang ke laut karena jelas-jelas terkontaminasi radioaktif. Oleh karena itu, air ditampung terus menerus hingga reaktor mendingin.
Tampungan itu banyak sekali sampai sekitar 1.000 tangki lebih, di mana ukuran tangki mencapai 1.000 meter kubik. Kemudian, setelah berhasil diatasi, akumulasi air yang terkontaminasi itu masih ada.
"Akhirnya, sesuai dengan sifat radioaktif yang meluruh dengan waktu, maka air yang terakumulasi itu tingkat radiasinya juga turun,” jelas Haryono.
Nah, untuk meluruhkan kandungan radioaktif dalam air secara alami akan membutuhkan waktu lama. Sementara itu, lahan untuk penyimpanan air akan digunakan kembali.
Sehingga, Pemerintah Jepang menerapkan ALPS (Advanced Liquid Processing System) untuk mengupayakan air olahan tersebut bisa dilepas ke lautan. Proses ini berhasil membersihkan sekitar 62 jenis radioaktif.
Setelah itu, air masih ditampung. Haryono mengatakan problem muncul di sini. Sistem yang ada sampai dengan saat ini belum bisa membersihkan tritium (H3).
"Kalau kontaminan radioaktif yang lain itu bisa. Tritium ini sifatnya seperti air, bergantung dengan air. Masalahnya, tritium ini radioaktif. Sehingga, konsentrasi tritium di lingkungan itu harus sangat dibatasi, karena dia mampu menghasilkan radiation sickness,” papar Haryono.
Haryono menyatakan batas kandungan tritium pada cairan menurut ketetapan WHO adalah 10.000 btr/liter. Berdasarkan aturan tersebut, Jepang justru mengambil batasan operasional jauh lebih kecil, yaitu 1.500 btr/liter.
Proses peluruhan kandungan radioaktif telah diawasi ketat oleh organisasi IAEA selama bertahun-tahun. Ketika proses pelepasan air ke lautan, dilaporkan kandungan tritium tidak signifikan hingga 3 meter dari garis pantai.
"Sehingga, dapat disimpulkan pelepasan air olahan bekas pendinginan PLTN Fukushima tidak mengganggu ekosistem laut dan lingkungan," tutur dia.
Baca juga: Jepang Klaim Pengelolaan Limbah Nuklir Aman: Sudah Gunakan Teknologi Teruji |
Kuliah di kampus favorit dengan beasiswa full kini bukan lagi mimpi, karena ada 426 Beasiswa Full dari 21 Kampus yang tersebar di berbagai kota Indonesia. Info lebih lanjut klik, osc.medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News