Huruf yang dibaca lewat metode diraba ini ternyata telah diupayakan sejak tahun 1640. Mengutip dokumen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Direktori Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Jurusan Pendidikan Luar Biasa, upaya menciptakan tulisan bagi tunanetra telah dimulai 16 abad yang lalu.
Saat itu seorang cendekiawan tunanetra Jepang pada abad ke-4 mengukir huruf-huruf pada kayu dan mendirikan sebuah perpustakaan yang cukup besar untuk menghimpun karya-karyanya itu. Sementara itu pada tahun 1676 seorang tunanetra Katolik di Roma, Italia, Francesco Terzi menciptakan abjad dari kumpulan tali yang divariasi.
Berbagai metode muncul pada masa-masa itu. Hingga awal abad ke-19, upaya untuk membantu tunanetra belajar membaca dan menulis terus dilakukan.
Pada era ini, bangsa Romawi, mencoba menggunakan tali, potongan logam, kayu, kulit, lilin untuk membantu tunanetra. Namun dari sejumlah cara itu belum ada yang benar-benar memuaskan, dan dinilai tidak praktis sebagai media komunikasi.
Misal, orang tentu tidak akan membawa banyak balok kayu kian kemari untuk berkomunikasi. Saat itu terciptalah standar media komunikasi yang ada mesti mudah diproduksi, permanen, mudah dipahami dan mudah dibawa kemana-mana.
Tulisan Timbul
Setelah terus berinovasi, pada 1825 hingga 1835 muncul ide untuk menciptakan tulisan timbul di Inggris. Saat itu dibuat huruf timbul yang dibentuk menyerupai abjad Romawi.Huruf-huruf ini diberi nama Moon. Ada delapan huruf yang bentuknya sama dengan abjad romawi. Sedangkan ada 14 huruf yang disederhanakan, dan lima huruf dirancang baru.
Abjad-abjad Moon ini masih digunakan hingga awal abad ke 20. Setelah itu muncul abjad yang diberi nama barbier yang menjadi awal mula sistem tulisan braille.
Barbier berbentuk titik-titik timbul yang diciptakan oleh Charles Barbier, seorang perwira arileri Napoleon. Saat itu tulisan itu diperuntukkan sebagai sandi dalam peperangan Napoleon.
Barbier menggunakan pola 12 titik yang terdiri dari dua deretan vertical yang masing-masing terdiri dari enam titik. Titik-titik tersebut dibuat dengan menusukkan sebuah alat tajam pada kertas tebal yang diletakkan pada sebuah cetakan dari logam.
Charles Barbier kemudian tertarik memperkenalkan sistemnya ini kepada tunanetra. Sehingga pada tahun 1820 dia mempresentasikan metodenya itu di lembaga pendidikan tunanetra di Paris.
Pada awalnya anak-anak tunanetra di lembaga itu sangat senang dengan tulisan dengan model perabaan ini. Tulisan barbier lebih mudah dikenali dengan ujung-ujung jari.
Tetapi kemudian mereka menyadari bahwa sistem tulisan ini memiliki banyak kekurangan. Sistem ini tidak membedakan huruf kapital dan huruf kecil, tidak ada tanda-tanda untuk angka ataupun tanda-tanda baca, membutuhkan banyak ruang, dan sulit dipelajari.
Barier mungkin lebih efektif untuk menuliskan pesan-pesan singkat seperti “maju” atau “musuh ada di belakang kita”. Tetapi tidak bagus dipergunakan untuk membuat buku bagi tunanetra.
Louis Braille salah satu orang yang menyadari sistem Barbier kurang baik sebagai media baca atau tulis. Tetapi ia sangat senang dengan gagasan penggunaan titik-titik yang timbul tersebut.
Atas kesadaran kekurangan dan ingin memperbaiki sistem tulisan bagi tunanetra, pertemuan Louis Braille dengan Charles Barbier ini pun menjadi pertemuan-pertemuan yang terus mentransformasi tulisan bagi tunanetra.
Louis Braille selalu memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk membuat titik-titik dan garis-garis pada kartu-kartu untuk berusaha menciptakan tulisan yang cocok bagi tunanetra. Ia selalu mencoba setiap perkembangan tulisannya itu kepada kawan-kawannya yang tunanetra.
Menyadari bahwa jari jari kawan-kawannya lebih peka terhadap titik daripada terhadap garis, maka dia memutuskan untuk hanya menggunakan titik-titik saja dan mengesampingkan garis-garis bagi tulisannya itu. Di samping itu, dia mengurangi jumlah titiknya dari dua belas hanya menjadi enam.
Akan tetapi modifikasi yang paling penting adalah bahwa sistem tulisannya itu tidak didasarkan atas metodologi sonografi melainkan didasarkan atas sistem abjad Latin dalam bentuk yang berbeda. Menggunakan titik-titik timbul dengan konfigurasi yang unik.
Akhirnya, pada 1834, ketika Louis Braille berusia awal 20-an, setelah bereksperimen dengan inovasinya itu selama lebih dari sepuluh tahun, sempurnalah sistem tulisan yang terdiri dari titik-titik timbul itu.
Pada tahun 1851 ciptaan Braille diajukan kepada Pemerintah Perancis dengan permohonan agar ciptaan tersebut mendapat pengakuan pemerintah, dan agar Louis Braille diberi tanda jasa.
Braille Dibawa ke Indonesia
Tulisan Braille dibawa ke Indonesia oleh orang Belanda pada awal abad ke-20. Braille diajarkan di Blinden Instituut, sebuah lembaga tunanetra yang didirikan oleh Dr. Westhoff pada 1901 di Bandung.Baca juga: Kenalan dengan Alfian, Mahasiswa Disabilitas Netra Pertama Unair yang Berhasil Jadi ASN |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id