“Jadi, jangan pusat, juga jangan dari kampus saja. Karena, kampus juga punya keinginan untuk mahasiswanya mendapatkan bantuan,” ujar Gitadi dikutip dari laman unair.ac.id, Jumat, 10 Mei 2024.
Gitadi menilai Puslapdik, lembaga yang mengatur KIP-K, kurang belajar dari pengalaman berbagai universitas. Menurutnya, mekanisme yang dimiliki oleh universitas sudah bagus.
“Banyak perguruan tinggi itu sudah punya mekanisme menentukan SPP yang baik, sampai home visit, dikunjungi rumahnya, ditanya tetangganya, konsumsi listriknya. Maka dari itu, perlu ada lembaga khusus untuk memonitori jalannya kebijakan atau program,” tegas dia.
Dia menyebut program KIP-K bagus di permukaan saja. Untuk itu, perlu struktur atau institusi khusus dalam pelaksanaan program atau kebijakan.
"Unair itu punya pengalaman bagus kok, meskipun satu-dua ada yang meleset. Tapi, Unair datang ke rumah mahasiswa yang membutuhkan bantuan, dilihat rumahnya, dan lain sebagainya. Itulah muddling through, proses bersusah payah untuk menemukan solusi,” tutur dia.
Gitadi mengatakan melesetnya satu-dua sasaran KIP-K dari ratusan ribu penerima KIP-K bukan masalah. Dalam perspektif kebijakan, harus berdasar data dan fakta.
"Berapa ribu yang bermasalah, barulah bisa dilakukan analisis evaluasi,” tutur dosen administrasi publik itu.
Secara psikologis, kata Gitadi, orang cenderung tidak mau jujur mengakui bantuan yang diberikan nantinya dicabut. Oleh karena itu, perlu perubahan sistem dalam kebijakan.
Gitadi berpendapat peraturan tidak boleh bersifat karet. Kata ‘bisa dicabut’ dalam pernyataan pihak Puslapdik dianggap tidak tegas.
“Aturan itu jangan bersifat karet. Kalau sudah naik status ekonominya, ya langsung diputus bantuannya. Tapi, harus fair juga mekanismenya. Karena, mana ada orang yang mau bantuannya dicabut? Harus didatangi dan diperiksa betul,” jelas dia.
Gitadi menilai sejumlah penerima KIP-K hidup hedon yang tengah disorot publik belum tentu sesuai yang terlihat di media sosial. Bisa saja, yang bersangkutan mengejar followers dengan berpenampilan yang terkesan mahal.
"Jangan-jangan mobil pinjaman, tasnya KW, atau perhiasannya juga imitasi,” tutur dia.
Gitadi berharap pemerintah melakukan survei dan riset serta memberikan alternatif rekomendasi pada penyelenggaraan kebijakan dan pengutamaan kebijakan.
“Dengan itu, proses kebijakan bisa dianggap cerdas dan baik,” ujar dia.
Baca juga: Kondisi Ekonomi Meningkat, Mahasiswa Penerima KIP Kuliah Bisa Diganti |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News