Indah Permata Sari atau IPS, 27, tersangka tindak pidana kekerasan terhadap anak. Medcom.id/Daviq Umar Al Faruq
Indah Permata Sari atau IPS, 27, tersangka tindak pidana kekerasan terhadap anak. Medcom.id/Daviq Umar Al Faruq

Psikolog UGM Sebut Pelaku Kekerasan Anak Cenderung Punya Gangguan Kesehatan Mental

Renatha Swasty • 03 April 2024 09:58
Jakarta: Kasus kekerasan pada anak terus meningkat. Baru-baru ini anak selebgram asal Kota Malang, Aghnia Punjabi, dianiaya oleh pengasuh anak atau suster, Indah Permata Sari atau IPS.   
 
“Kekerasan pada anak bisa dilakukan oleh siapa saja, sayangnya menurut penelitian banyak dilakukan oleh orang-orang dewasa terdekat yang justru seharusnya bisa menjadi pelindung dari anak tersebut,” kata Psikolog Klinis dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Indria Laksmi Gamayanti, dikutip dari laman ugm.ac.id, Rabu, 3 Maret 2024.
 
Dia menyebut orang dewasa yang melakukan kekerasan pada anak umumnya adalah orang-orang yang tidak matang secara emosi. Bahkan, mungkin saja orang yang semasa kecilnya juga menerima tindakan kekerasan.

“Secara psikologis, pelaku kekerasan cenderung memiliki gangguan kesehatan mental dalam dirinya sendiri. Faktor pemicu dari tendensi tindakan kekerasan pada pelaku juga bermacam-macam, mulai dari kesiapan mental orang tua, kondisi ekonomi, hingga pengalaman kekerasan serupa di masa kecil,” jelas dia.
 
Gamayanti mengatakan ketika seseorang mengalami kekerasan di masa kecil, ada potensi ia akan melakukan kekerasan lebih parah ketika beranjak dewasa. “Bayangan masa lampau atau trauma masa kecil orang tua memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan tindakan kekerasan serupa atau lebih terhadap anaknya,” tutur Gamayanti.
 
Kekerasan juga dapat terjadi pada sesama anak. Bentuk kekerasan ini banyak ditemui dalam kasus-kasus perundungan pada lingkungan sekolah atau teman bermain.
 
Menurut Gamayanti, penyebab anak melakukan tindakan kekerasan kepada sesama juga bisa disebabkan dari lingkungan dan pola asuh orang tua. “Bisa jadi anak tersebut juga menerima kekerasan dari orang tua atau kurangnya validasi sehingga cenderung mencari validasi pada sesamanya,” ujar dia.
 
Gamayanti menjelaskan dalam ilmu psikologi kekerasan semasa kecil dapat diklasifikasikan sebagai Adverse Childhood Experiences (ACEs) atau pengalaman-pengalaman buruk di masa kecil. Dampaknya, anak akan cenderung memiliki masalah kesehatan mental dan tendensi kekerasan tinggi ketika tumbuh dewasa.
Berbagai kasus juga menunjukkan gejala berbeda. Seperti anak menjadi pribadi pendiam, murung, tercekat, cenderung nakal, sering menangis, bahkan ada yang terlihat baik-baik saja hingga sering disalahartikan sebagai proses penyembuhan trauma yang cepat.
 
Gejala ini banyak luput disadari oleh orang tua yang sebenarnya anak membutuhkan penanganan lebih dari dampak kekerasan tersebut. Dia menyarankan apabila terjadi kekerasan, sebaiknya memberikan penanganan yang tepat dan sesuai dengan kondisi anak.
 
"Kalau di psikologi, metode recovery pada anak itu bermacam-macam, ada asesmen yang harus dilakukan untuk memberikan penanganan terbaik. Ada yang membutuhkan perubahan pola asuh, lingkungan yang mendukung, jadi bukan hanya anak sebagai faktornya. Tapi orang tua juga perlu mendapatkan penanganan,” ucap Gamayanti.
 
Gamayanti menegaskan sebagai orang dewasa yang berada di lingkungan tempat anak tinggal, harus dapat memberikan perlindungan terhadap tindak kekerasan. Oleh karena itu, penting untuk menjalin komunikasi yang baik dengan anak, tidak hanya pada anggota keluarga, namun juga orang-orang sekitar.
 
Sebab, masa kecil anak merupakan masa pertumbuhan krusial untuk membentuk karakter, karenanya diperlukan pengawasan dan pengasuhan yang baik supaya bentuk kelalaian berujung kekerasan tidak terjadi. Tidak kalah penting, penerapan pola asuh yang baik secara berkelanjutan akan menghasilkan anak-anak dengan mental dan fisik yang sehat di masa depan.
 
Baca juga: Suster Penganiaya Anak Selebgram Aghnia Punjabi Mengaku Jengkel Korban Tak Mau Diobati

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan