"Berbagai riset atau kajian ilmiah menunjukkan dampak negatif kurang tidur adalah anak akan sulit berkonsentrasi, penurunan daya ingat, gangguan metabolisme tubuh, sarapan bisa terlewatkan, kelelahan, kecemasan, bahkan penurunan prestasi akademik," ujar Koordinator P2G Satriwan Salim dalam keterangan tertulis yang diterima Medcom.id, Rabu, 4 Juni 2025.
Dia menuturkan kebijakan masuk sekolah jam 06.00 pagi ini di luar kelaziman internasional. Malaysia, Tiongkok, Amerika Serikat rata-rata masuk sekolah sekitar pukul 07.30 pagi, sedangkan India, Inggris, Rusia, Kanada, Korea Selatan masuk sekolah pukul 08.00 pagi.
Lalu, Singapura dan Jepang masuk pukul 08.30 pagi. Semuanya dengan skema belajar 5 hari atau Senin-Jumat. Artinya, negara-negara maju rata-rata masuk sekolah lebih siangan.
Pada 2023, NTT pernah mencoba menerapkan kebijakan masuk sekolah pukul 05.00 pagi, setelah uji coba dan evaluasi di sekolah lalu direvisi menjadi pukul 5.30 pagi, dan pada akhirnya kembali menerapkan masuk sekolah pukul 07.00 pagi. Ini setelah Pemprov melakukan evaluasi komprehensif termasuk mendengarkan masukan berbagai pihak.
Satriwan mengatakan dalam penerapan jam masuk sekolah lebih pagi banyak kesulitan dalam implementasinya. Seperti akses ke sekolah jauh dari rumah siswa dan guru dan ketidaktersediaan kendaraan umum pada jam berangkat sekolah.
Risiko keamanan bagi siswa dalam keberangkatan, karena kondisi jalan sepi atau langit masih gelap. Guru dan orang tua siswa merasa lebih terbebani karena harus menyiapkan sarapan dan bekal lebih awal. Bagi orang tua yang punya anak cukup banyak, lebih merepotkan lagi sebab harus membagi perhatian penyiapan lebih awal.
"Tujuan KDM agar anak tidak malas, bersemangat ke sekolah, dan gemar belajar dengan mempercepat jam masuk sekolah sebenarnya tidak langsung berkorelasi satu sama lain," kata dia.
Baca juga: Sekolah Mulai Jam 6 Pagi, Legislator Ingatkan Bikin Anak Ngantuk di Kelas hingga Berdampak Psikologi |
Satriwan mengatakan membangun kualitas pembelajaran terletak pada ekosistem pembelajaran di sekolah, seperti pola asuh di rumah, cara guru mampu membangun ruang belajar berkualitas, aman, nyaman, sehat, dialogis, konstruktif, dan berpusat pada peserta didik. "Akan percuma masuk terlalu pagi, tapi kualitas pembelajaran masih rendah," tegas dia.
Dia menyebut dengan skema belajar lima hari sekolah berdasarkan Perpres No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) ditambah masuk terlampau pagi dan pulang lebih sore, anak bisa saja melampiaskan kelelahan di sekolah pada Sabtu dan Minggu dengan aktivitas negatif dan destruktif seperti nongkrong, tawuran, dan bentuk pelampiasan lainnya. Dia mengingatkan semua harus diantisipasi oleh semua pihak.
P2G juga menyoroti wacana penetapan jam malam bagi siswa mulai pada pukul 21.00. Wacana ini dinilai langkah konkret dan anitisipatif memberikan ruang positif bagi tumbuh kembang psikologis anak.
Penerapan jam tidur atau larangan aktivitas bagi anak di atas pukul 21.00 juga membangun tanggung jawab keluarga dalam mendidik dan membimbing anak. Satriwan mengatakan akan terbangun ruang belajar mandiri di rumah, nilai-nilai keluarga untuk saling berbincang di waktu tersebut.
Bahkan, kebijakan ini sebagai wujud implementasi riil atas kebijakan Kemdikdasmen mengenai 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat, di antaranya Tidur Cepat dan Gemar Belajar. Hal itu agar anak-anak tidak melakukan kegiatan begadang yang akan mengganggu tumbuh kembang mereka, tidak melakukan tindakan negatif lainnya yang akan mengganggu waktu belajar dan istirahat.
"Sehingga mendapatkan kualitas hidup dan kesehatan prima karena jam tidurnya cukup dan berkualitas. Jam tidur ideal secara medis sekitar 8-10 jam (usia 13-18 tahun), 9-12 jam (usia 6 - 12 tahun)," tutur Satriwan.
Satriwan menuturkan tantangan pendidikan di Jawa Barat cukup berat. Anak tidak sekolah mencapai 660.447, sebanyak 164.631 di antaranya dropout. Bahkan, Jawa Barat berada di urutan pertama nasional angka putus sekolah di jenjang SD dalam data Kemdikdasmen 2024.
P2G menilai kebijakan pendidikan oleh KDM selama ini belum berdasarkan evidence based policy dan research based policy. Sehingga, rapuh secara konseptual dan rentan berubah drastis karena tidak kuat.
"Yang dibangun bukan kekuatan birokrasi di bawah melainkan personal KDM sebagai gubernur tentu ini menjadi problematika sendiri dalam internal birokrasi daerah. P2G merasa kebijakan pendidikannya lebih banyak didasarkan pada ide spontanitas, bukan yang terencana dan sistematis sebagaimana konsep dasar pendidikan itu sendiri," ujar Satriwan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News