Simpulan itu tersaji melalui Sarasehan dalam Jaringan (Sadaring) bertema "Mana Fakta Mana Fiksi, Kini dan Nanti” yang digagas Satupena, Minggu, 15 Agustus 2021. Hadir tiga pembicara, yakni Salman Aristo (produser dan sutradara film), Hikmat Darmawan (kritikus film dan komik), dan Deasy Tirayoh (penulis skenario film dan cerpen).
Hikmat Darmawan mengatakan era post truth ditandai dengan kegagalan manusia membuat kategorisasi mana fakta dan fiksi. Kegagalan itu diawali dengan membanjirnya informasi lewat media sosial.
"Kita sering kali melakukan click monkey. Terusin saja ke orang lain tanpa pernah mengkritisi apa yang sedang kita bagikan," katanya.
Click monkey atau mengeklik tanpa membaca sebuah informasi, sebenarnya telah turut serta membuat banjir informasi dewasa ini. Akibatnya, kebingungan mendera publik kita.
Hikmat mengatakan saking banyaknya fakta yang bias opini, justru terkadang fiksilah yang menjadi harapan dalam memberoleh kebenaran. "Walau dalam fiksi bukan kebenaran objektif dan absolut yang kita peroleh, tetapi kebenaran sementara sebelum kita menemukan kebenaran yang lebih hakiki," ujar salah satu pendiri Satupena ini.
Karakter fiksi yang menyajikan hiburan, lanjut dia, membuatnya menjadi lebih lentur dan menyajikan kebenaran secara lebih utuh. Sementara, fakta-fakta menjadi kian miskin karena berbagai bias kepentingan.
"Termasuk oleh kepentingan para penulisnya ketika ia diproduksi di dalam kepalanya," kata Hikmat.
"Jadi, kekaburan itu sudah terjadi sejak dini, sehingga sekarang kita hanya menuai. Tidak bisa menyalahkan generasi sekarang yang kita anggap tidak kritis, tetapi pernahkah kita mengajarkan kekritisan cara berpikir itu?” katanya.
Dalam kondisi seperti ini, tambah Salman, memegang prinsip dasar jurnalisme seperti skeptis sangat diperlukan. “Kita harus skeptis terhadap apa yang kita baca, tidak berhenti bertanya apakah ini benar atau tidak,” ujar Salman.
Deasy Tirayoh melihat ukuran keberhasilan sering kali diukur lewat rating. Sebagai penulis, prinsip kerjanya sering kali malah berbenturan.
“Saya selalu diminta untuk mencari sisi gosip dari seorang tokoh misalnya dengan mengabaikan apa yang sedang dia lakukan,” katanya.
Pesanan semacam itu membuatnya mempertanyakan tugasnya sebagai seorang penulis yang memiliki tanggung jawab mempertahankan idealisme. Biasanya, kata Deasy, ia menggunakan fiksi sebagai jalan keluar.
"Menulis fiksi adalah jalan keluar dari kebimbangan dalam kerja melayani industri," kata Daesy.
Di sela-sela diskusi, penulis asal Malang Ari Ambarwati membacakan tiga buah puisi yang terangkum dalam antologi Bocah Rempah. Antologi ini, kata Ari, akan dicetak dan diedarkan dalam waktu dekat.
Ari mencoba menautkan antara sejarah dan jenis rempah dengan kehidupan anak-anak pada era posttruth. "Semoga varian pelajaran tentang rempah bisa dilakukan lewat sastra,” katanya.
Sadaring yang dipandu oleh penyair Ni Made Purnama Sari ini diikuti para peserta dari berbagai daearah di Indonesia. Bahkan, ada peserta dari Belanda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News