Pertama, rentang waktu sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 tentang PPDB sangat pendek. Sehingga, masyarakat masih banyak yang belum memahaminya.
“Permendikbud baru keluar Mei jadi daerah kelabakan. Tahun depan diharapkan aturan-aturan ini keluar lebih awal,” ucap Suahedi pada acara diskusi Forum Merdeka Barat 9 dengan tema ‘Zonasi Sekolah Untuk Pemerataan’ di Kantor Kementerian Kominfo, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu, 18 Juli 2018.
Kedua, celah 20 persen dalam penerimaan murid baru dari kelas ekonomi menengah, dimanfaatkan untuk mengakali pembuatan SKTM. Banyak peserta didik menggunakan SKTM yang tidak sesuai dengan latar belakang ekonominya.
Baca: Mendikbud: Sampai Kiamat Pun PPDB Ada Kekurangan
Untuk persolaan ini, Ombudsman merekomendasikan agar penerbitan SKTM harus berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri sejak awal. Jika sekolah menemukan ada yang menyalahgunakan SKTM, maka perlu langsung ditindaklanjuti.
“Sesungguhnya bisa ditindak langsung oleh sekolah. Mungkin sekolah butuh verifikasi juga untuk itu,”ungkap Ahmad.
Ketiga, jumlah sekolah negeri yang belum merata di Indonesia, terutama di daerah-daerah terpencil. Sehingga perlu ada diskresi untuk daerah-daerah tersebut.
"Daerah seperti Maluku, NTT, Kaltara, Kecamatan dan Isolasi. Mungkin tidak perlu diatur di pusat tapi kasih diskresi daerah,” terang Ahmad.
Keempat, ditemukannya kongkalikong antara pihak sekolah dengan orang yang memiliki pengaruh. Khususnya politisi yang ingin memasukkan sanak saudaranya
“Ada politisi daerah ikut campur. Tahun lalu kami temukan ada kontrak politik antara vendor sistem PPDB online dengan politis,”pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News