Bambang mengaitkan temuan tersebut dengan kasus serupa yang pernah ia tangani beberapa tahun lalu di kawasan lindung Sumatra Utara. Dia menggambarkan hutan yang masih sehat memiliki struktur tajuk yang rapat dan bertingkat, sehingga mampu memecah dan menahan laju air hujan.
“Walaupun ada air, dia tidak langsung ke permukaan. Dia jatuh di tajuk, pecah, kemudian sebagian mengalir melalui batang atau stem flow,” jelas dia dalam keterangan tertulis, Kamis, 4 Desember 2025.
Kepala Pusat Studi Bencana itu mengatakan keberadaan tumbuhan bawah dan serasah berperan penting dalam menyerap air serta menjaga kestabilan ekosistem hutan. Lapisan vegetasi yang berjenjang, mulai dari tajuk atas hingga vegetasi bawah merupakan sistem penyangga alami yang menjaga keseimbangan lingkungan.
“Tuhan menciptakan ini tentu saja untuk kebaikan manusia dan lingkungannya,” ujar dia.
Dia menjelaskan tumbangnya satu atau dua pohon dalam kondisi alami bukan merupakan ancaman bagi ekosistem. “Pohon ini, ya, kalaupun tumbang, itu tidak banyak. Paling hanya satu, dua. Dan itu alami,” tutur dia.
Bambang menjelaskan sistem perakaran pohon tua yang kuat membuat hutan tetap stabil. Ketika satu pohon tumbang, ruang kosong tersebut segera diisi oleh regenerasi spesies baru.
Namun, masalah muncul ketika aktivitas pembalakan liar memasuki kawasan hutan. Gangguan pada vegetasi menghilangkan kerapatan tajuk dan membuka celah yang memicu perubahan drastis dalam aliran air serta kestabilan tanah.
“Pada kondisi seperti ini, ketika pembalakan liar masuk, maka celah antara tajuk semakin terbuka,” ujar dia.
Bambang mengatakan hilangnya fungsi tajuk menyebabkan air hujan jatuh langsung ke permukaan tanah tanpa proses pemecahan alami, sehingga erosi berlangsung lebih cepat dan risiko longsor meningkat. “Kayu-kayu besar yang ditemukan pascabencana merupakan konsekuensi dari rusaknya lapisan-lapisan vegetasi akibat aktivitas manusia tersebut,” tegas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News