Di tangan dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Nasih Widya Yuwono, sampah sisa bekas makanan atau sampah organik diolah menjadi pupuk. Nasih menggunakan metode ember tumpuk.
Metode ember tumpuk merupakan alat pemrosesan pupuk untuk menanggulangi bau tak sedap dari sampah organik dan sisa dari sampah tersebut kemudian dapat menghasilkan pupuk yang dapat dimanfaatkan untuk menyuburkan tanah.
“Ember tumpuk dibuat dengan menyatukan 2 ember yang disusun bertumpuk. Ember yang berada di atas digunakan untuk menampung sampah organik dengan lubang saringan, yang akan meneruskan hasil cairan dari pembusukan (lindi) ke bawah dengan bantuan gravitas,” papar Nasih dikutip dari laman ugm.ac.id, Jumat, 30 Agustus 2024.
Nasih sudah menjalankan penelitian ember tumpuk sejak tahun 2000. Bahkan, pada tahun 2018 untuk pertama kali inovasi ember tumpuk muncul di siaran TVRI.
Meski sudah diteliti sejak lama, kata Nasih, namun di tengah pengembangan, tim sempat mengalami kendala karena bau tidak sedap. Nasih dan timnya berpikir keras cara mengurangi bau tak sedap pada hasil lindi.
Ide ini muncul pada 2016 saat mahasiswanya meneliti pengelolaan limbah ikan. Pada saat itu, hasil penelitian tersebut menimbulkan bau amis yang kuat hingga diprotes banyak orang.
Lalu, pada saat akan dibuang, ditemukan penemuan menarik, bahwa ada sampel yang tidak berbau menyengat. “Diketahui bahwa lindi tersebut hasil penjemuran,” beber dia.
Sebelum menggunakan ember tumpuk, ia dan tim peneliti sempat menggunakan tong berukuran besar. Namun, dikarenakan harganya mahal dan ukurannya besar sehingga metode tersebut kemudian ditinggalkan.
“Kita akhirnya beralih menggunakan ember yang lebih murah, mudah dicari, dan praktis untuk dibawa pergi,” ujar dia.
Nasih mejelaskan cara kerja dari ember tumpuk ini memanfaatkan gaya gravitasi. Hasil pembusukan sisa makanan atau buah berupa cairan di ember atas akan turun ke ember di bawahnya.
Selain digunakan untuk mengelola sampah agar tidak berbau dan menghasilkan pupuk lindi, sisa sampah organik di ember atas dapat dimanfaatkan dengan adanya maggot. Maggot ini berasal dari lalat Black Soldier Fly (BSF) yang akan membantu pengomposan sampah lebih cepat, serta dapat dimanfaatkan sebagai pakan dari ternak.
“Tapi dengan adanya maggot itu lebih cepat lagi, karena maggot itu perutnya banyak, mikroba banyak enzim. Jadi kayak cacing itu loh, kan banyak kandungannya yang apa di dalamnya yang membantu penguraian,” ujar Nasih.
Nasih menuturkan ember tumpuk ini dapat dimanfaatkan di pedesaan karena masih banyak ladang dan kebutuhan pupuk di masyarakat. Sedangkan, sampah tersebut berasal dari kota.
Menurutnya, jika dikembangkan lebih masif akan tercipta kerja sama antara kota dan desa dalam pengelolaan sampah. “Sampah dari kota diolah di desa yang kemudian dapat digunakan untuk mempersubur tanah perkebunan di desa, yang nanti akan dijual dan dimanfaatkan lagi di kota, jadi akan tercipta hubungan timbal balik yang baik dalam pengelolaan sampah ini,” papar dia.
Ide ember tumpuk ini juga dapat dikembangkan menjadi skala lebih besar, seperti menggunakan reaktor besar atau bak. Fakultas Pertanian UGM juga membuka kesempatan bekerja sama dengan berbagai pihak.
Ia mengungkapkan UGM dapat bekerja sama dengan desa untuk memberikan pelatihan dan fasilitasi kepada desa mengelola sampah dari UGM. Kemudian, hasil perkebunan itu dapat dibawa kembali ke UGM.
Nasih berharap adanya inovasi pengembangan ember tumpuk ini dengan bahan yang mudah didapat dan dibuat membuat metode pengelolaan sampah ini bisa populer di masyarakat. Hal itu agar lebih banyak yang bisa terlibat di dalamnya.
“Fungsinya sebetulnya biar semua orang itu mengenal namanya sampah, bisa mengolah, kan murah itu. Semakin banyak orang terlibat, semakin baik,” ujar Nasih.
Baca juga: Kenalan dengan Sariyanto, Laboran UGM yang Sabtu-Minggu Jadi Petani |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News