Fenomena ini dikenal sebagai bediding, kondisi alamiah yang sering terjadi saat musim kemarau.
Dikutip dari akun Instagram @infobmkg, bediding merupakan penurunan suhu yang cukup ekstrem pada malam hingga pagi hari. Fenomena ini lazim terjadi di wilayah pegunungan dan dataran tinggi seperti Dieng, serta daerah lain di Jawa, Bali, NTB, dan NTT.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi munculnya bediding. Secara lokal, langit cerah tanpa tutupan awan menyebabkan panas dari permukaan bumi lepas ke atmosfer dengan mudah.
Pada saat yang sama, kelembapan udara yang rendah membuat tidak ada lapisan alami yang menahan panas di dekat permukaan bumi. Kondisi ini mempercepat pendinginan udara, terutama menjelang pagi.
Di sisi lain, pengaruh regional juga berperan. Angin Monsun Timur yang berasal dari Australia membawa udara kering dan dingin ke wilayah selatan Indonesia. Kombinasi angin dingin dan langit cerah inilah yang memperkuat efek pendinginan udara di banyak wilayah selama musim kemarau.
Tercatat, suhu minimum di beberapa daerah Indonesia pada periode 1 hingga 13 Juli 2025 cukup rendah. Manggarai (NTT) mencatat suhu 11,2°C, diikuti Paniai 13,2°C, Pasuruan 14,3°C, dan Silangit 14,8°C. Fenomena bediding ini diperkirakan akan terus berlangsung hingga September mendatang.
Meskipun tidak tergolong berbahaya, masyarakat tetap dianjurkan menjaga daya tahan tubuh agar tetap prima di tengah udara dingin yang menusuk. Mengonsumsi makanan bergizi, minuman hangat, serta menggunakan pelembap untuk mencegah kulit kering menjadi langkah yang dianjurkan.
Selain itu, meskipun suhu dingin jadi perhatian utama, BMKG juga mengingatkan agar masyarakat tetap waspada terhadap potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir dan longsor, terutama di wilayah yang masih berpotensi diguyur hujan meskipun sudah memasuki musim kemarau. (Antariska)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News