Dalam kondisi paling buruk, self harm akan menuju tahap keinginan untuk bunuh diri. Hal ini tentu harus dihindari.
Kajian Wilkinson pada 2012 memperkirakan 20 persen remaja di seluruh dunia pernah melukai dirinya sendiri secara sengaja. Profesor di Departemen Psikologi University of Massachusetts Boston, Karen L Suyemoto, mengatakan salah satu alasan perilaku self harm adalah upaya untuk mengalihkan rasa sakit batin. Bisa dengan menyayat permukaan kulit, membenturkan fisik ke benda keras, hingga meminum obat-obatan secara berlebihan agar merasa lebih baik.
Cara mengenali self harm?
Bagaimana cara mengenal gejala self harm di media sosial? Psikolog Anastasia Satrio mengatakan, jika dalam pikiran muncul keinginan untuk melukai diri sendiri, maka itu merupakan gejala awal. Dia menyarankan untuk belajar mengenali dan mengelola emosi.
"Ada beragam cara untuk kita bisa menenangkan emosi. Misalnya, dengan ada namanya magic finger. Jadi, kalau kita merasa cemas, pegang tangan dan tarik nafas 10 menit atau 2 menit," kata Anastasia saat menjadi pembicara dalam Obral Obrol Literasi Digital (OOTD) bertema Tren Self Harm di Media Sosial, Kamis, 11 Mei 2023.
Menular
Pegiat Into The Light Indonesia, sebuah komunitas pencegahan bunuh diri, Yosafat Kevin, mengatakan perilaku menyakiti diri ini menular. Jika dipamerkan di media sosial, maka dapat mengakibatkan efek domino. Menurutnya, keinginan self harm yang dibagikan di media sosial justru bisa memicu orang lain untuk mengikutinya.
"Saat ini, perilaku self harm atau self injury ini marak dilakukan oleh anak usia muda yang merasa harus mengikuti tren tertentu. Mereka takut dianggap ketinggalan zaman atau FOMO (fear of missing out)," kata Yosafat.
Usia remaja paling rentan
Usia remaja menjadi paling rentan terjangkit self harm. Kenapa? Karena usia remaja mulai masuk fase memiliki emosi yang lebih kompleks. Bahkan, terkadang emosi yang dirasakan juga cepat sekali berubah.
"Jadi, gunakan sosial media sosial dengan bijak. Ikuti sosial media dengan konten-konten yang positif," kata Yosafat memberikan saran.
Dia melanjutkan pengguna media sosial pun harus siap menghadapi segala hal yang ada di dalamnya. "Apakah kita sudah siap secara energi, emosional, dan pengetahuan kita untuk memberikan satu intervensi kepada orang lain? Supaya kita tidak terpengaruh."
Tak hanya itu, Yosafat juga menyarankan agar pengguna media sosial melakukan terapi diri dengan menyaring informasi yang dibaca. Jadi, ketika menemukan suatu konten yang tidak bertanggung jawab di media sosial, maka pengguna bisa mengatur respon konten tersebut.
Perlu ketahanan diri
Irwantja, konten kreator yang fokus pada kesehatan mental, mengatakan perlu ketahanan diri yang baik di era sosial media.
"Belajar tentang batasan sendiri jadi penting banget sih. Untuk tahu kapan kita berani untuk bisa atau punya kapasitas untuk merespon ketika ada konten atau mungkin orang lain yang approach kita terkait masalah dia yang mungkin pastinya nggak menyenangkan dan apalagi dalam konteks self harm," kata Irwan.
Baca: Waspada, Dewasa Muda Rentan Terhadap Krisis Kesehatan Mental
Menurut Irwan, jika dirasa tidak mampu membaca atau merespon konten negative, maka sebaiknya dihindari. Salah satunya dengan cara mengenali fungsi-fungsi pengamanan di akun sosial media yang digunakan dan memahami seberapa rentan kita terhadap konten-konten yang berseliweran di sosial media.
Diskusi OOTD ini diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bekerja sama dengan Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id