Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat terdapat 251 anak usia 6-12 tahun yang menjadi korban kekerasan di sekolah pada 2023. Setiap jenjang pendidikan memunculkan angka kekerasan berbeda-beda.
Elvi mengatakan urgensi penerapan SRA yang sudah dibentuk sejak 2015 cukup tinggi bila melihat perkembangan perilaku dan lingkungan sosial anak sekolah. Anak-anak menghabiskan waktunya 8-10 jam per hari di sekolah.
Hal itu berpotensi tinggi membuat anak mengalami kekerasan selama di sekolah. Ancaman seperti penyebaran NAPZA, rokok, dan radikalisme sudah merambah sejak tingkat sekolah dasar. Elvi mengatakan ancaman tersebut diperparah dengan kurangnya dukungan orang tua dan guru dalam upaya preventif.
“Pengedar NAPZA ini sudah mulai bergerak waktu anak di sekolah dasar. Rawan menjadi pecandu rokok. Perokok pemula di Indonesia itu rata-rata anak SD. SMP-SMA sudah banyak yang mencandu rokok, jadi ini sangat berbahaya," ucap Elvi dalam Seminar SDGs Fakultas Geografi UGM bertajuk “Implementasi Sekolah Ramah Anak Pada Jenjang Sekolah Menengah Pertama” dikutip dari laman ugm.ac.id, Senin, 6 November 2023.
Elvi menyebut persoalan lain, yaitu kebijakan sekolah berbasis hukuman. Pemutusan mata rantai kekerasan di sekolah tidak selesai, sehingga anak melakukan kekerasan.
"Karena terbiasa, setiap anak melakukan kekerasan itu diberi hukuman,” ucap Elvi.
Dia memaparkan penerapan konsep SRA menekankan pada kemampuan satuan pendidikan untuk memberikan pemenuhan hak dan perlindungan khusus bagi anak-anak, termasuk mekanisme pengaduan. Terdapat empat konsep SRA yang juga merupakan tantangan terbesar.
Pertama, mengubah paradigma dari pengajar menjadi pembimbing. Kedua, orang dewasa memberikan teladan di satuan pendidikan. Ketiga, memastikan orang dewasa terlibat penuh dalam melindungi anak. Keempat, memastikan orang tua dan anak terlibat aktif dalam memenuhi komponen SRA.
“Tiga pilar Sekolah Ramah Anak ini adalah anak senang, guru tenang, orang tua bahagia. Jadi, seluruh aspek di sini, khususnya tiga aspek ini berperan aktif dalam melindungi anak dari kekerasan. Tidak hanya instansinya, tapi orang tua juga turut mendukung. Guru perannya juga tidak sebagai pemberi materi, tapi menjadi teladan dan pembimbing perilaku anak,” papar Elvi.
Kekerasan tak cuma terjadi di jenjang sekolah dasar hingga menengah. Sejumlah kasus kekerasan juga tak sedikit terjadi di jenjang perguruan tinggi.
Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran, Wening Udasmoro, mengungkapkan UGM melakukan sejumlah upaya untuk mencegah kekerasan. Awal tahun lalu, UGM meluncurkan empat modul kekerasan.
"Modul pertama adalah kekerasan fisik. Kedua kekerasan psikologi. Ketiga ini kekerasan sosial, termasuk kekerasan seksual. Dan yang keempat itu kekerasan ideologis. Ini semua untuk mendukung adanya tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs,” papar Wening.
Dia menyebut pendekatan realisasi tujuan pembangunan berkelanjutan harus dilakukan top down dan bottom reach. Artinya, pemerintah yang berperan sebagai penyusun kebijakan tidak akan berhasil tanpa upaya implementatif dari masyarakat dan instansi pendidikan.
UGM mengecam tindakan kekerasan di institusi pendidikan, baik verbal maupun non verbal. Peraturan pencegahan pelecehan dan kekerasan seksual telah dikeluarkan UGM sejak 2021.
Komitmen ini juga diwujudkan melalui unit-unit konseling dan pelaporan yang disediakan bagi seluruh sivitas akademika apabila terjadi kekerasan di lingkungan belajar. UGM juga mendukung penguatan anti kekerasan pada sekolah dasar dan menengah.
"Melalui langkah ini, satuan pendidikan diharapkan mampu menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan bebas kekerasan," ujar Wening.
Baca juga: Ini Skema Pembuatan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Sekolah |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News