"Perlu undang-undang sehingga perlindungan bagi korban lebih bagus," ujar Deputi Perlindungan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nahar, di kantor Kemenko PMK, Jakarta, Rabu 12 Januari 2022.
Ia mengatakan, meski prevalensi kekerasan seksual menurun dalam tiga tahun terakhir, tapi angkanya masih terbilang tinggi. Nahar menyebut, modus dan kasus kekerasan seksual semakin ekstrem dan mengerikan.
Menurutnya, pengesahan RUU TPKS adalah jalan terbaik. RUU TPKS, kata dia, mampu menjawab itu sekaligus memberi perlindungan lebih bagi korban.
"Sekarang itu, masih normatif sehingga perlindungan korban perlu ditingkatkan. Jadi kasus berubah dan itu perlu dijawab UU," ujarnya.
Baca: Cegah Kasus Herry Wirawan Berulang, Kemenag Bakal Investigasi Pesantren
Pada kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy menegaskan, pemerintah berkomitmen memerangi dan mencegah kasus-kasus kejahatan seksual, terlebih terhadap anak. Menurutnya, pemerintah telah menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan yang cukup termasuk aturan turunannya.
Dia mengamini, telah terjadi penurunan prevalensi kekerasan seksual sekitar 24 persen sejak 2018 sampai 2021. Meski begitu, secara absolut jumlahnya masih besar dan dampak terhadap korban masih belum tertangani dengan baik.
"Yang sangat penting adalah implementasi dari peraturan dan perundangan yang ada serta komitmen dan koordinasi antar lembaga pemerintah pusat dan daerah serta penguatan dan unit-unit perlindungan yang terkait dengan perlindungan anak," tutur Muhadjir.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News