Jalan santai sembari kampanye Sekolah Bebas Biaya. Foto: Kopaja
Jalan santai sembari kampanye Sekolah Bebas Biaya. Foto: Kopaja

Kampanye 'Sekolah Bebas Biaya' Ingatkan Pemerintah Soal Amanah Konstitusi

Citra Larasati • 07 Juli 2024 11:42
Jakarta:  Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendidikan Jakarta dan Indonesia yang Berkeadilan (Kopaja) menggelar jalan santai untuk meningkatkan kesadaran, sekaligus mengajak partisipasi masyarakat untuk terlibat aktif dalam advokasi pendidikan yang berkeadilan. Kampanye ini juga mendorong pemerintah agar memenuhi amanah konstitusi dalam mewujudkan akses sekolah bebas biaya bagi semua. 
 
Sekolah bebas biaya merupakan mandat dari Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan pemerintah wajib membiayainya. “Amanah konstitusi ini, dipertegas lagi dalam Pasal 34 UU Sisdiknas, bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya pendidikan tanpa memungut biaya,” kata Juru bicara Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendidikan Jakarta dan Indonesia yang Berkeadilan (Kopaja), Ubaid Matraji dalam keterangannya di Jakarta, Minggu, 7 Juli 2024.
 
Nyatanya, biaya sekolah di Indonesia hingga kini masih sangat membebani ekonomi masyarakat. Penyebab utama siswa putus sekolah atau anak tidak sekolah, didominasi oleh faktor ekonomi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, terdapat 76 persen keluarga mengakui anaknya putus sekolah karena alasan ekonomi. Dari angka tersebut, sebagian besar (67,0 persen) di antaranya tidak mampu membayar biaya sekolah, sementara sisanya (8,7 persen) harus mencari nafkah. (Susenas, 2021). 
 
Kenyataan problem “sekolah berbiaya” ini juga tercermin dalam hasil penelitian Arus Survei Indonsia (ASI, 2023), bahwa tiga persoalan paling pokok yang dihadapi warga Indonesia saat ini adalah harga kebutuhan pokok mahal (23,4 persen), biaya pendidikan mahal (20,1 perse), dan susah mencari lapangan kerja (18,6 persen). 
 
Menurut Ubaid, hal senada juga tercermin dari data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Berdasarkan pemantauan dan pengaduan masyarakat, dari Januari 2022-Juni 2024, terhimpun 1.479 kasus pendidikan yang berkaitan dengan beban biaya ekonomi keluarga.
 
Kasus tertingi adalah ijazah ditahan sekolah karena belum melunasi tunggakan (41 persen). Penahanan ijazah ini tidak hanya terjadi di sekolah swasta, tapi juga banyak ditermukan di sekolah negeri. 
 
Selanjutnya, disusul kasus putus sekolah karena tak punya biaya (27 persen), orang tua siswa terjerat pinjol untuk tutupi biaya sekolah (18 persen),  tidak boleh ikut ujian karena belum bayar tagihan sekolah (9 persen), dan juga ditemukan kasus anak-anak yang jadi korban perundungan dan intimidasi di sekolah karena tak bayar pungutan (5 persen).
 
“Kami menyesalkan ini semua masih terjadi di sekolah. Mestinya kan sekolah itu bebas biaya, kenapa jadinya masih berbiaya dan mahal pula. Di sekolah negeri ada banyak pungutan liar. Sementara di sekolah swasta, tagihan bulanannya terus menteror orang tua murid,” tandas Ubaid Matraji. 
 
Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pendidikan menuntut pendidikan di Indonesia berkeadilan untuk semuanya.  Berikut 3 Seruan yang disampaikan: 
  1. Tuntaskan Wajib Belajar 12 Tahun dengan tanpa memungut biaya di sekolah negeri dan swasta. Kini, pemerintah sudah mencanangkan Wajar 12 Tahun, karena itu, sekolah bebas biaya ini tidak hanya sampai SMP (9 tahun), tapi hingga jenjang SMA/SMK (12 tahun). Saat ini, belum ada pemerintah daerah yang menerapkan pendidikan bebas biaya di negeri dan swasta. Jakarta dengan jumlah APBD terbesar di Indonesia, mestinya bisa mempelopori ini, supaya menjadi praktik baik yang dapat dicontoh daerah lain. 
  2. Selamatkan anak-anak yang gagal PPDB 2024, dengan menyediakan bangku di sekolah swasta tanpa dipungut biaya. Jika tidak, mereka saat ini terancam putus sekolah, karena terkendala mahalnya biaya di sekolah swasta. Bahkan, tak sedikit di antara mereka adalah  anak-anak penerima KIP dan KJP yang gagal di berbagai jalur PPDB. Mereka ini potensial besar akan putus sekolah jika gagal masuk sekolah negeri.
  3. Libatkan sekolah swasta dan hentikan sistem kompetisi rebutan kursi di PPDB. Semua anak punya hak yang sama, karena itu, pemerintah harus menjamin, semua anak kebagian bangku sekolah. Tidak boleh lagi ada istilah gagal PPDB, karena semua akan akan kebagian kursi. Jika daya tampung sekolah negeri minim, maka pemda wajib melibatkan sekolah swasta. Proses PPDB adalah pintu masuk anak untuk bisa sekolah. Kalau pintu masuknya saja sudah tidak berkeadilan, maka banyak anak yang terdiskriminasi. 
 
Baca juga:  Mohammad Nuh Soroti Ada 'Dana Desa' di Anggaran Pendidikan: Jujur, Ini Untuk Apa?
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan