Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal mengatakan, kebanyakan masyarakat menganggap bahwa praktik pembelajaran yang menyenangkan hanya terdapat pada sekolah-sekolah elite. Hal ini menjadikan masyarakat memiliki paradigma dalam pembentukan adanya eksklusifitas dalam sistem pembelajaran.
Akan tetapi, hal tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Seluruh pelaku pendidikan juga dapat menjalankan praktik-praktik pembelajaran yang menyenangkan sebagai upaya transformasi pendidikan di Indonesia.
Acara ini seakan mengingatkan kembali pada nilai-nilai yang digagas oleh GSM agar sekolah-sekolah di Indonesia menjadi menyenangkan, membangun antusiasme belajar murid, kembali memanusiakan manusia dengan menuntun segala potensi dan bawaan lahiriah manusia untuk keluar, serta mencapai kesempatan yang setara dalam mengakses pendidikan berkualitas (non-kastanisasi).
“GSM itu sebagai komunitas kolaborator. School Expo ini adalah contoh nyata bahwa semua guru dan sekolah adalah penggerak untuk memulai perubahan dan mengimbaskan perubahannya menjadi gerakan bersama menciptakan komunitas belajar profesional secara inklusif," kata Rizal dalam keterangannya, Kamis, 24 November 2022.
Jadi, kata Rizal, di GSM tidak ada label sekolah penggerak atau guru penggerak, karena semua guru dan sekolah adalah pemimpin perubahan. "Mereka menyiapkan sekolah masa depan (Sekolah 0.4) sebagai antitesis Revolusi Industri 4.0 yang berpotensi membunuh nilai-nilai kemanusiaan jika tak diwaspadai seksama,” ucap Rizal.
Menurut Rizal, aksi ini sebagai wujud dalam membangun budaya pendidikan baru untuk mengantisipasi perubahan dunia di masa depan yang semakin tak menentu. Segala potensi murid dan guru yang berbeda diberi ruang adil untuk berkembang setara, dan yang terpenting mengedepankan aspek dialogis, daya imajinasi dalam mengkreasikan berbagai karya agar fresh dan orisinil, serta memformulasikan sesuatu yang baru, mudah diadopsi, dan diimplementasikan, tetapi memiliki makna filosofi pendidikan yang tinggi.
School Expo ini menampilkan pameran dan festivalisasi perubahan-perubahan yang sudah dilakukan oleh sekolah-sekolah, baik penciptaan lingkungan positif, praktik pembelajaran yang multidisiplin berbasis pemecahan masalah, serta penguatan karakter dan kesadaran kritis melalui pembelajaran sosial emosional.
“Banyak keunikan yang terjadi di School Expo kota Yogyakarta, salah satunya adalah SD Petinggen yang ramai dikunjungi dan menarik perhatian pengunjung. SD ini ramai dikerubungi anak-anak yang terlihat penasaran dengan model pembelajaran yang menarik, ada pembelajaran matematika seperti penjumlahan ratusan menggunakan sedotan, perkalian dengan model roulette, dan belajar perkalian dengan tebak-tebakan,” ujar Sekar, relawan di komunitas GSM.
School Expo GSM dilakukan selama satu bulan, dari tanggal 18 November sampai akhir Desember di 11 daerah di seluruh Indonesia, seperti Supiori Papua, Cirebon, Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang, Boyolali, Semarang, Kalimantan dan lima kabupaten di provinsi DI Yogyakarta.
Selain dibuka oleh pejabat daerah setempat seperti bupati, kepala dinas pendidikan beserta jajarannya, yang dilibatkan bukan lagi sekolah-sekolah favorit, melainkan sekolah-sekolah pinggiran yang berani berubah dan mengimbaskan ke sekolah-sekolah lainnya. “Kami merasa dihargai di GSM, meskipun kami sekolah pinggiran,” tutur salah seorang guru.
Di komunitas GSM, para guru mendapatkan pelatihan perubahan mindset, nilai-nilai, konsep dan praktik-praktik pembelajaran yang up to date. "Mereka saling berjejaring dan bertukar praktik baik untuk meningkatkan kapasitas mengajar yang berkualitas dan berdampak pada kemampuan akademik, emosi, sosial, fisik dan karakter murid, melalui pendekatan yang lebih individual dan kolaboratif,” tutur Rizal.
Itulah yang direkomendasikan oleh lembaga OECD, yakni membangun “powerfull learning community” yang bertujuan untuk terus bertumbuh dan belajar, membangun kultur personal dan profesional dengan melibatkan masyarakat dan stakeholder pendidikan.
Sebagai komunitas kolaborator, kegiatan School Expo ini adalah hasil dari gotong royong semua pihak. Anggaran dan pelaksanaannya dilakukan langsung oleh guru-guru itu sendiri, GSM dan stakeholder terkait seperti Dinas Pendidikan atau pihak swasta yang tertarik.
"Mereka percaya bahwa perubahan pendidikan harus dilakukan secara mandiri melalui gerakan bersama. Inilah yang dinamakan 'Kecerdasan Kolektif'. Bangsa ini butuh 'kecerdasan kolektif' untuk bisa sejajar dengan negara-negara lainnya,” pungkas Rizal.
Baca juga: Mengenal Program Guru Penggerak sebagai Wadah Pengajar Terbaik |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News