Sang kakek berpesan 'Hidup tidak hanya cukup memiliki cita-cita, tetapi juga perlu berjuang untuk mewujudkan apa yang sudah dicita-citakan'. Mahasiswa Prodi S-1 Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu selalu berpegang pada pesan kakeknya.
“Saya bisa sampai di sini, karena terinspirasi dari perkataan kakek, agar saya tidak hanya bermimpi, tetapi juga perlu berjuang mewujudkannya. Saya punya mimpi belajar di luar negeri dan saya kejar melalui berbagai persiapan, sampai itu benar-benar terwujud sekarang melalui IISMA-Co,” ucap mahasiswa asal Pacet, Mojokerto itu.
Naufal sadar untuk bisa lolos program IISMA, apalagi tembus di kampus ternama di Amerika Serikat sudah pasti membutuhkan usaha tidak mudah. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi Naufal, salah satunya syarat kemampuan bahasa Inggris yang dibuktikan dengan sertifikat TOEFL atau Duolingo.
Awalnya, Naufal mengira program IISMA bisa menggunakan sertifikat kemampuan bahasa Inggris berupa Test of English Proficiency (TEP). Ternyata, tidak bisa.
Akhirnya, dia fokus latihan rutin. Setelah dirasa siap, dia mengambil tes Duolingo untuk pertama kalinya dan skor yang diperolehnya bisa digunakan untuk mendaftar IISMA-Co.
“Selain persiapan, tantangan yang berat waktu itu ialah harus bolak-balik mengurus berkas pendaftaran, sementara saya sedang menjalani KKN di Jombang. Jadi, Jombang-Surabaya. Karena saya sudah tinggal di Sidoarjo, jadinya bolak balik tiga daerah itu demi IISMA,” kenang Naufal.
Perjuangannya itu terbayar lunas setelah namanya masuk di daftar peserta yang lolos IISMA-Co 2024. Terlebih setelah dia merasakan cuaca di negeri empat musim itu.
Kesan pertama saat sampai di Amerika Serikat, dia terpukau dengan penduduknya yang ramai dan aktif berkegiatan, termasuk di kampus tempatnya belajar.
“Para pelajar di sini sangat aktif dari segi komunitas maupun kegiatan pribadinya masing masing. Dari aku sendiri, agak hectic jadinya. Karena tidak menyangka di tempat ini bakalan banyak kegiatan juga secara pribadi maupun dari pihak IISMA, salah satu kegiatan awal yang saya ikuti yaitu olahraga dan mengunjungi bazar Meijer Fan Fest,” ucap dia.
Naufal juga terkesan dengan sistem perkuliahan dan sarpras di tempatnya kuliah, sistem pembelajaran terintegrasi dengan teknologi. Selain ada LCD proyektor, juga terdapat kamera, microphone, dan alat yang dibutuhkan dalam pembelajaran luring dan daring lainnya.
Dia mempelajari beberapa mata kuliah, salah satunya Social Inequality, pembelajaran yang membahas tentang ketidakadilan sosial dari strata penduduk, perbandingan kelas ekonomi, serta faktor yang membentuk ketidakadilan dalam sosial.
Naufal juga belajar dua mata kuliah konsentrasi pendidikan yang meliputi, pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran dan penggunaan waktu akhir untuk refleksi. Dia juga mengambil dua mata kuliah linguistik yaitu linguistik structure dan introduction to phonetic.
Serta satu mata kuliah psikologi yaitu mata kuliah yang berhubungan dengan cara belajar pada anak. Sisanya, mata kuliah pembelajaran psikologi dan mata kuliah sosiologi.
Naufal mengaku mengalami beberapa culture shock seperti dari aspek pakaian. Ternyata, mahasiswa di Amerika Serikat tidak diharuskan menggunakan pakaian formal seperti pada sistem perkuliahan kebanyakan di Indonesia.
Dalam komunikasi antara dosen dan mahasiswa cenderung setara. Tidak ada panggilan ms, mrs, atau doktor atau prof. Tidak ada sekat itu dalam komunikasi, sehingga suasana komunikasi mahasiswa dan dosen lebih mengalir.
“Apa yang saya dapat di sini semoga bisa diterapkan ketika sudah menjadi guru nantinya. Semoga setelah saya lulus IISMA ilmu saya bisa saya kembangkan sesuai dengan penerapannya dan kondisinya di Indonesia,” ujar mahasiswa yang aktif menjadi panitia kegiatan Himpunan Mahasiswa dan English Volley ball Club itu.
Baca juga: Dua Kali Gagal, Devano Akhirnya Tembus IISMA di Kampus Top 100 Dunia |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News