"Hal tersebut tentu tidak berjalan sendirian, tapi ada kekuatan yang mendorong hal tersebut. Misalnya, kapitalisme, patriarki, dan globalisasi," kata Dr Sjafiatul Mardliyah dari Pusat Studi Gender dan Anak, dilansir dari laman Unesa, Kamis, 9 Maret 2023.
Sementara itu, Inge Christanti dari Pusat Studi HAM Universitas Surabaya (Ubaya) menambahkan, masyarakat harus sadar sampai di mana dunia online dapat mempengaruhi kehidupan, khususnya pada perempuan. Melihat sumber data yang ada, ternyata kekerasan berbasis gender online dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, terutama saat pandemi.
Adanya kasus kejahatan tersebut, kita dapat mengamati dari pelaku yang mungkin tidak jauh dari lingkungan sekitar, bisa jadi mereka pacar, mantan, suami, mantan suami, atau saudara. Bahkan orang yang tidak dikenal.
Di sisi lain, Putri Aisiyah Dewi dari Pusat Studi Gender dan Anak Unesa menambahkan, beberapa contoh dan pandangan yang sekitarnya umum terjadi di masyarakat. Ternyata mengirim video atau foto intim menjadi bentuk sosialisasi online paling umum terjadi.
“Kejahatan seksual tersebut contohnya beberapa pihak membuat suatu aturan untuk pekerjaan online dan membuat foto atau video tersebut menjadi suatu alat ancaman apabila tidak sesuai dengan kesepakatan. Contohnya pinjaman online,” ujarnya.
Bahkan menurut Putri, ada beberapa kasus wanita yang diminta untuk mengirimkan foto atau video intim. "Dan, itu menjadi ancaman dan akan disebar apabila tidak membayar hutang sesuai perjanjian,” contohnya.
Kemudian masih banyak lagi kejahatan yang saat ini kian terjadi di Indonesia. Klaim bahwa perempuan adalah lemah juga menjadi ancaman karena perbedaan gender. "Karena itu, sudah saatnya bagi kita untuk tetap waspada terkait kejahatan yang melemahkan perempuan di dunia online," tutupnya.
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news medcom.id
Baca juga: Internasional Women's Day, Dosen Unesa: Perempuan Bukan Pelayan, Bukan Second Class |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News