Banyak netizen menyampaikan kekecewaan dan kritik tajam terhadap kebijakan efisiensi anggaran pendidikan yang dikhawatirkan mengancam masa depan generasi penerus bangsa.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai terdapat banyak kejanggalan dalam pengelolaan anggaran pendidikan, Bukan hanya terkait pemotongan, tetapi juga sejak tahap perencanaan alokasi anggaran.
3 Hal yang Jadi Sorotan JPPI:
1. Salah Sasaran Alokasi Anggaran Pendidikan
Dari total anggaran pendidikan tahun 2025 yang mencapai Rp724 triliun, Kemendikdasmen hanya mendapat alokasi 4,63% atau sekitar Rp33,5 triliun. Ini menjadi pertanyaan besar, mengingat Kemendikdasmen memiliki tanggung jawab utama dalam memastikan hak pendidikan bagi anak-anak Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 UUD 1945 serta menjalankan program Wajib Belajar 13 tahun.Lebih ironis lagi, dari anggaran yang sudah minim tersebut, Kemendikdasmen masih mengalami pemotongan sebesar Rp7,2 triliun dengan alasan efisiensi. “Ini jelas menunjukkan lemahnya visi Presiden terkait pendidikan. Bisa jadi, pendidikan memang tidak menjadi prioritas utama dalam pemerintahan saat ini. Lalu, sebenarnya ke mana arah pendidikan kita?” kata Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji dalam keterangan tertulisnya, dikutip di Jakarta, Sabtu, 15 Februari 2025.
2. Pernyataan Pemerintah yang Kontradiktif
Pernyataan pemerintah terkait pemotongan anggaran pendidikan juga membingungkan masyarakat. Dalam rapat dengan Komisi X DPR, Menkeu Sri Mulyani menyatakan tidak ada pemotongan anggaran untuk beasiswa dan KIP. Namun, fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda.Dalam presentasi Kemendiktisaintek, jelas disebutkan bahwa dari 844.174 mahasiswa penerima KIP-Kuliah yang masih berkuliah (on going), sebanyak 663.821 mahasiswa tidak akan menerima dana KIP-Kuliah pada 2025. Ini berarti ratusan ribu mahasiswa berisiko putus kuliah akibat tidak adanya pendanaan.
Begitu pula di Kemendikdasmen, saat rapat di Komisi X DPR RI, disampaikan beberapa program beasiswa juga terdampak, seperti Beasiswa Unggulan, Beasiswa Darmasiswa, dan Beasiswa Indonesia Maju. “Tampaknya antar kementerian belum memiliki kesepahaman yang jelas. Akibatnya, masyarakat semakin bingung. Pemerintah seharusnya transparan dan tidak menutupi fakta. Ini membuktikan bahwa tata kelola anggaran pendidikan kita masih semrawut dan tidak terkoordinasi dengan baik,” tegas Ubaid.
3. Penurunan Jumlah Penerima PIP dan KIP-Kuliah
Pemangkasan anggaran juga berdampak pada berkurangnya jumlah penerima bantuan pendidikan. Program Indonesia Pintar (PIP) yang selama ini membantu anak-anak dari keluarga kurang mampu mengalami penurunan jumlah penerima. Tahun 2024, jumlah penerima PIP tercatat 18,6 juta siswa, namun untuk tahun 2025 turun menjadi 17,9 juta siswa, sebagaimana disampaikan dalam paparan Kemendikdasmen di Komisi X DPR RI.“Meski pemerintah mengklaim tidak ada pemotongan dana PIP, tetapi mengapa jumlah penerimanya berkurang dibanding tahun lalu? Ini tentu meresahkan masyarakat, apalagi masih banyak kasus penghentian bantuan PIP serta penyalahgunaan dana,” ujar Ubaid.
Di tingkat perguruan tinggi, pemangkasan anggaran semakin memukul mahasiswa penerima KIP-Kuliah. Sebanyak 663.821 mahasiswa penerima KIP-K terancam tidak dapat melanjutkan studi karena tidak mendapatkan pendanaan. Ini adalah situasi darurat yang harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Untuk itu, JPPI menegaskan kebijakan anggaran pendidikan saat ini mengindikasikan lemahnya komitmen pemerintah terhadap pendidikan. Pemotongan anggaran, inkonsistensi pernyataan antar kementerian, serta berkurangnya jumlah penerima bantuan pendidikan merupakan bentuk nyata dari ketidakseriusan pemerintah dalam memastikan akses pendidikan bagi seluruh warga negara.
JPPI mendesak pemerintah Pemerintah agar merevisi kebijakan anggaran pendidikan agar lebih berpihak pada sektor yang benar-benar membutuhkan, khususnya Kemendikdasmen-Kemendiktisaintek yang memiliki tanggung jawab langsung terhadap pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi. Selain itu juga JPPI meminta jaminan transparansi dan konsistensi informasi terkait anggaran pendidikan agar masyarakat tidak terus dibingungkan dengan pernyataan yang bertolak belakang.
Baca juga: Kritisi Kondisi Tukin Dosen, Okky Madasari Lantunkan Puisi di UGM |
Lalu memastikan tidak ada pemangkasan bantuan pendidikan seperti PIP dan KIP-Kuliah yang berdampak langsung pada akses pendidikan bagi siswa dan mahasiswa dari keluarga kurang mampu.
Pemangkasan anggaran pendidikan, harus dikembalikan untuk penguatan sektor pendiidkan. Jika tidak, ini akan menyalahi mandatory spending minimal 20 persen yang wajib ditunaikan oleh pemerintah, sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, pasal 31.
"Pendidikan adalah investasi masa depan bangsa. Jangan biarkan anak-anak dan mahasiswa Indonesia menjadi korban kebijakan yang tidak berpihak pada mereka," pungkas Ubaid.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News