Patung WR Supratman menyanyikan Indonesia Raya di depan peserta Kongres Pemuda di Museum Sumpah Pemuda. DOK Medcom
Patung WR Supratman menyanyikan Indonesia Raya di depan peserta Kongres Pemuda di Museum Sumpah Pemuda. DOK Medcom

6 Pahlawan Nasional yang Berlatar Belakang Profesi Wartawan

Medcom • 11 Agustus 2023 11:57
Jakarta: Kemerdekaan adalah cita-cita setiap bangsa yang sejak awal menduduki suatu negara. Dalam memperoleh kemerdekaan, ada pengorbanan dan perjuangan untuk mewujudkannya.
 
Telah banyak informasi sejarah mengenai pahlawan nasional yang gigih menegakkan kata merdeka saat penjajahan dengan perang fisik atau mengajar dari sekolah ke sekolah. Di sisi lain, ada juga pahlawan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan lewat tulisan.
 
Perjuangan lewat tulisan oleh pahlawan nasional salah satunya berprofesi sebagai wartawan. Mereka selalu aktif menyuarakan kemerdekaan Indonesia, baik saat penjajahan atau pasca kemerdekaan.

Nilai perjuangan mereka terekam dalam sejarah, yang kemudian disarikan dari Ensiklopedia Pahlawan Nasional terbitan Direktorat Jendral Kebudayaan:

6 pahlawan nasional berlatang belakang wartawan

1. Abdul Muis (1883-1959)

Abdul Muis lahir di Sungai Puar dekat Bukittinggi, Sumatera Barat pada 3 Juli 1883. Dia sempat belajar di STOVIA, tapi tidak tamat.
 
Dia berkecimpung di dunia warta. Sejumlah karangannya di De Express banyak memuat kecaman terhadap tulisan-tulisan orang Belanda yang menghina bangsa Indonesia. Kemudian dia bergabung Sarekat Islam dan menjadi anggota pengurus besar.
 
Dirinya sempat diadili karena tidak menyetujui perayaan yang akan digelar Pemerintah Belanda dalam rangka 100 tahun bebasnya negara tersebut dari penjajahan Perancis.
 
Tahun 1917 sepulang dari Belanda, ia berhasil memprovokasi tokoh-tokoh Belanda untuk mendirikan Technische Hogeschool di Indonesia yang kemudian berubah nama menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).
 
Pada 1922, Abdul Muis memimpin pemogokan kaum buruh di Yogyakarta. Dia ditangkap dan diasingkan ke Garut, Jawa Barat pada 1927. Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia dia membentuk Persatuan Perjuangan Priangan untuk membantu mempertahankan kemerdekaan.
 
Dia meninggal di Bandung pada 17 Juni 1959 dan dimakamkan di sana. Abdul Muis ditetapkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 218/Tahun 1959.

2. Roehana Koeddoes (1884-1972)

Roehana Koeddoes merupakan pahlawan nasional yang baru ditetapkan sesuai Surat Menteri Sosial RI No. 23/MS/A/09/2019. Dikutip dari laman stekom.ac.id, ia lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada 20 Desember 1884.
 
Dia merupakan bibi dari penyair ulung Indonesia Chairil Anwar. Roehana adalah saudara tiri Sutan Sjahrir serta sepupu Agus Salim. Dia termasuk wanita cerdas yang tak mengenyam pendidikan formal.
 
Pada 1905, ia mendirikan sekolah artisanal di Koto Gadang. Selanjutnya, di usia 24 tahun tepatnya pada 1908, ia menikah dengan Abdoel Koeddoes, seorang notaris.
 
Pada 1911, dia mendirikan organisasi perempuan bernama Kerajinan Amai Setia denngan spirit mengajarkan keterampilan di luar tugas ruumah tangga, seperti membaca tulisan Jawi dan Latin, serta mengelola rumah tangga. Di Bukittinggi Roehana mendirikan sekolah bernama Roehana School. Ia mengelolanya tanpa memnita bantuan siapa pun guna menghindari permasalahan.
 
Dia mengusulkan pembuatan surat kabar tentang perempuan kepada Soetan Maharadja, pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe. Akhirnya ia menjadi pemimpin redaksi Soenting Melajoe untuk terbitan pertama pada 10 Juli 1912 sebagai sebuah surat kabar berbahasa Melayu. Dia dibantu putri Soetan Maharadja, Zoebaidah Ratna Djoewita.
 
Roehana meninggal di Jakarta pada 17 Agustus 1972 dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak.

3. M. G. R. Albertus Sugiyopranoto S.J (1896-1963)

Sugiyopranoto lahir di Solo pada 25 November 1896. Awalnya, ia belajar di HIS (SD Hindia Belanda). Lalu, melanjutkan ke sekolah guru dan tamat pada 1915. Dia bertugas sebagai guru selama setahun.
 
Tahun 1919, dia dikirim ke Belanda untuk mendalami pengetahuan agama Kristen, bahasa Latin, bahasa Yunani dan filsafat. Setibanya di Tanah Air, ia berganti nama menjadi Frater Sugiyo dan bertugas di Muntilan sebagai guru ilmu pasti, bahasa Jawa, dan agama. Ia juga memimpin majalah mingguan Swara Tama.
 
Tahun 1928 dia kembali ke Belanda untuk mendalami teologi dan tahun 1931 dirinya ditahbiskan sebagai imam. Setibanya di Indonesia ia menjadi pastor di Bintaran, Yogyakarta. Namanya diganti menjadi Sugiyopranoto.
 
Pada 1940, dia diangkat menjadi vikaris apostolik untuk memangku jabatan Uskup Agung. Masa Agresi Militer II (1948-1949) dia menetap di Yogyakarta. Sugiyopranoto meninggal di Belanda pada 22 Juli 1963 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal, Semarang.
 
Dia ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden RI No. 152/Tahun 1963.

4. R. Oto Iskandar Dinata (1897-1945)

Oto Iskandar Dinata ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden RI No. 088/TK/Tahun 1973. Dia lahir di Bandung pada 31 Maret 1897. 
 
Setelah selesai HIS di Bandung dia melanjutkan HKS (Sekolah Guru Atas) di Purworejo, Jawa Tengah. Tahun 1928, dia mendirikan Sekolah Kartini. Pada masa penjajahan Belanda dia menjadi anggota Volksraad (dewan rakyat), sementara pada 1935 dia ditarik dari Volksraad karena memprotes pemerintah Belanda.
 
Pada 1939, dia bergabung dengan Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Pada masa pendudukan Jepang, pasca partai-partai dibubarkan, ia aktif di surat kabar Warta Harian Cahaya. Selanjutnya dia menjadi anggota Jawa Hokokai (Badan Kebaktian Rakyat Jawa), dan anggota Cuo Sangi In (Dewan Perwakilan Rakyat).
 
Menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia. Oto menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan turut menyusun UUD 1945. Dia menjadi Menteri Negara dalam kabinet RI. Ia meninggal pada 20 Desember 1945 di Mauk (Banten) dibunuh dalam penculikan pada Oktober 1945.

5. Wage Rudolf Supratman (1903-1938)

W.R Supratman merupakan pahlawan nasional sesuai SK Presiden RI No. 016/TK/Tahun 1971. Dia lahir di Dusun Trembelang, Kelurahan Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo pada 19 Maret 1903.
 
Nama Wage yang melekat pada dirinya berdasarkan hari lahirnya dalam kalender Jawa yaitu Wage. Ia adalah anak ketujuh dari keluarga Jumeno Senen Sastrosuharjo. Saat usia dua bulan Supratman dibawa kembali ke Tangsi Meester Cornelis Jatinegara Jakarta. Sebagai syarat adminitrasi bagian dari warga Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL), dia dibuatkan akta kelahiran atas nama Wage Supratman.
 
Di Ujung Pandang dengan tujuan melanjutkan sekolah ke ELS, Wage dijadikan anak angkat oleh kakak iparnya Sersan van Eldik dan mendapat tambahan nama Rudolf. Kemudian ia menamatkan pendidikan hingga lulus di Normal School.
 
Tahun 1924, dia pergi ke Bandung dan di sana menjadi wartawan koran Kaum Muda. Supratman berjuang demi kemerdekaan bangsa dalam bidang komunikasi massa dan bermain biola.
 
Dirinya menciptakan lagu Indonesia Raya dan diperkenalkan secara luas pertama kali di depan Kongres Pemuda yang diadakan di Jakarta pada 28 Oktober 1928.
 
Lagu ciptaan itu selanjutnya menjadi lagu seremonial untuk setiap rapat partai-partai politik. Pasca kemerdekaan Indonesia, lagu tersebut didaulat sebagai kebangsaan lambang persatuan bangsa. Dia meninggal di Surabaya pada 17 Agustus 1938.

6. Sukarjo Wiryopranoto (1903-1962)

Sukarjo Wiryopranoto ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden RI No. 342/Tahun 1962. Dia lahir di Kesugihan, Cilacap, Jawa Tengah pada 5 Juni 1903. Wiryopranoto aktif di bidang politik.
 
Dirinya mendirikan Persatuan Bangsa Indonesia (PBI) bersama dr. Sutomo dan kemudian berubah nama menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra). Tahun 1934, dia mendirikan suatu perkampungan pemuda untuk melatih mereka menjadi ahli kayu, ahli besi, ahli pertanian, dan lain-lain.
 
Selanjutnya, ia diangkat menjadi Sekretaris Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Wiryopranoto juga aktif sebagai wartawan dan memimpin surat kabar Asian Raya (zaman Jepang) serta membina majalah Mimbar Indonesia pasca kemerdekaan Indonesia.
 
Dia pernah menjabat sebagai Duta Besar RI di Vietnam, Duta Besar Luar Biasa untuk Italia, dan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk RRC.
 
Tahun 1962, ia diangkat menjadi Wakil Tetap Indonesia di PBB. Wiryopranoto meninggal di New York pada 23 Oktober 1962 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
 
Itulah informasi seputar pahlawan nasional yang berperan aktif sebagai wartawan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai generasi penikmat kemerdekaan kewajiban kita adalah menjaga keutuhan Republik Indonesia. (Abdurrahman Addakhil)
 
Baca juga: 10 Pahlawan Nasional Wanita dan Kisah Perjuangannya

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan