Pernyataan ini disampaikan Benny dalam sosialisasi draf RUU KUHP bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika. Benny mengatakan, KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini adalah warisan kolonial Belanda yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvS).
?KUHP itu sudah dinaturalisasi menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. “Walaupun sudah dinaturalisasi, karena itu merupakan produk kolonial Belanda, pasti belum mendasarkan pada nilai-nilai budaya bangsa, apalagi terkait dengan perlindungan dasar falsafah negara kita Pancasila,” ungkap Benny dalam siaran persnya, Kamis, 17 November 2022.
Menurut sejarahnya, ide pembaruan KUHP diawali sejak lahirnya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) pada 1958 yang kini sudah berganti nama menjadi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Benny juga menjabarkan perbedaan antara KUHP WvS dan RUU KUHP, di mana secara sistematika ada perbedaan dalam jumlah buku.
KUHP WvS memiliki tiga buku, sedangkan RUU KUHP memiliki dua buku saja. “Dari tiga buku di dalam WvS, draft RUU KUHP menyederhanakan dengan menggabungkan Buku II tentang Kejahatan dan Buku III tentang Pelanggaran menjadi satu terminologi yang namanya Tindak Pidana. Sehingga draft RUU KUHP hanya ada dua buku, Buku I dan Buku II,” jelasnya.
Kritik-kritik yang mengatakan RUU KUHP overkriminalisasi atau banyak perbuatan yang diatur menjadi tindak pidana adalah tidak benar. Karena menurutnya, pasal-pasal yang ada di Buku II RUU KUHP lebih sedikit dari pada Buku II dan Buku III KUHP WvS digabungkan.
Benny juga mengungkapkan, Komisi III DPR sudah menjadwalkan di tanggal 21-22 November untuk penetapan RKUHP ini menjadi Undang-Undang.
“Harapannya jadwal itu tidak meleset dan agenda untuk penetapan itu bisa benar-benar dilaksanakan,” harap Benny.
Lanjutnya, Benny mengatakan ada beberapa urgensitas terkait perlunya dilahirkan KUHP Nasional, antara lain telah terjadi pergeseran paradigma dari Keadilan Retributif menjadi paradigma Keadilan Korektif, Restoratif, dan Rehabilitatif. “Dengan pergeseran paradigma ini memang menuntut KUHP WvS untuk segera diganti karena sudah tidak mampu lagi mengakomodasi kebutuhan hukum pidana saat ini, karena tuntutan dari paradigma baru berlaku secara universal di seluruh belahan dunia kita,” jelasnya.
Selain itu, hukum tertulis juga selalu tertinggal dari fakta peristiwanya, KUHP WvS sudah berumur 100 tahun lebih sehingga perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukumnya pasti sudah bergeser. KUHP WvS juga belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa, apalagi terhadap dasar falsafah negara Pancasila.
“Ini juga merupakan suatu urgensitas mengapa perlu segera dilahirkan KUHP Nasional,” ujar Benny.
Lektor Kepala Bagian Hukum Acara, Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Abdul Wahid mengatakan, asas fundamental di dalam mempelajari hukum pidana adalah asas legalitas.
“Asas legalitas artinya tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali ada aturannya terlebih dahulu, jadi jika tidak ada di dalam KUHP, tidak dapat dipidana. Dengan RKUHP yang baru ini, kita tidak melihat lagi asas legalitas secara kaku,” jelasnya.
Menurutnya, sekarang ini berkembang asas legalitas terbaru yang bersifat materil yang dikenal dengan living law atau hukum yang hidup di dalam masyarakat. Jadi menurutnya, hukum bukan hanya apa yang kita lihat di dalam perundang-undangan, tetapi ada hukum yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat atau hukum adat.
Abdul Wahid mengemukakan, RKUHP tidak menghilangkan atau mengurangi berlakunya hukum adat yang tidak tertulis di dalam Undang-Undang atau hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law), sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 2 RKUHP.
“Hukum yang hidup di dalam masyarakat dalam pasal ini berkaitan dengan hukum yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Di beberapa daerah tertentu masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut, yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana,” jelasnya.
Menurutnya, untuk memberikan dasar hukum mengenai berlakunya hukum pidana adat, perlu ditegaskan dan dikompilasi oleh pemerintah yang memuat mengenai hukum yang dikualifikasi sebagai tindak pidana adat, yang berasal dari Peraturan Daerah masing-masing tempat berlakunya hukum adat tersebut.
“Keadaan seperti ini tidak akan mengesampingkan dan tetap menjamin pelaksanaan asas legalitas serta larangan analogi yang dianut dalam Undang-Undang ini,” tegasnya.
Ia menambahkan, hukum yang hidup dalam masyarakat yang dimaksud adalah hukum yang tidak diatur dalam Undang-Undang dan masih berlaku dalam tempat hukum itu hidup, serta sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Pujiyono, mengungkapkan bahwa hingga saat ini, sudah ada lima tindak pidana yang sudah dikeluarkan dari RKUHP, dari 14 isu krusial yang menjadi alasan tertundanya Sidang Paripurna pada 2019 lalu. Pujiyono juga mengatakan bahwa pada saat dulu RKUHP dibuat memiliki misi tunggal yaitu dekolonisasi, tetapi kemudian berkembang menjadi demokratisasi, konsolidasi, adaptasi, dan harmonisasi.
“Ketika berbicara pembaharuan KUHP, pada hakikatnya bukan pembaharuan norma, tetapi pembaharuan sistem nilai, atau pembaharuan ide dasar. Karena KUHP yang kita miliki saat ini sebetulnya berdasarkan pada ide dasar individualis liberal yang bertentangan dengan konsep ide dasar kita yaitu monodualistik,” jelasnya.
Ia mengatakan bahwa di dalam RKUHP menganut asas keseimbangan, salah satunya adalah asas keseimbangan penentuan tindak pidana. “Sangatlah naif ketika kita menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana hanya yang bersumber dalam KUHP, sedangkan masih banyak perbuatan yang merupakan tindak pidana tetapi tidak tertampung di dalam Undang-Undang,” ungkapnya.
“Apakah perbuatan yang demikian itu secara realitas bukan sebagai sebuah tindak pidana? Oleh karena itulah kemudian di dalam rangka penentuan tentang tindak pidana tidak hanya berdasar pada Undang-Undang yang formal, tetapi juga hukum yang hidup di dalam masyarakat atau living law,” lanjutnya.
Selain itu, pada pembaharuan RKUHP, perumusan tindak pidana tidak lagi secara tegas mencantumkan unsur ‘dengan sengaja’. Menurutnya, semua tindak pidana diasumsikan dilakukan dengan sengaja, kecuali ditentukan bahwa itu sebagai dolus, maka itu dicantumkan di dalamnya.
Pujiyono juga menegaskan bahwa dalam memahami RKUHP jangan hanya membaca Buku II, tetapi konsep ide dasar pembaharuannya justru ada di Buku I, karena pada dasarnya hukum pidana terdiri dari dua inti yaitu nilai dan norma.
Direktur Informasi dan Komunikasi Politik Hukum dan Keamanan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Kominfo, Bambang Gunawan, mengatakan, upaya pemerintah merevisi dan menyusun sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda perlu segera dilakukan.
"Sehingga sesuai dengan dinamika masyarakat,” jelasnya.
RUU KUHP sendiri telah dimulai rancangannya sejak tahun 1970 oleh Pemerintah. Penyusunan RUU KUHP juga telah melalui berbagai diskusi dan sosialisasi yang melibatkan berbagai pihak termasuk masyarakat.
Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo pada Rapat Terbatas terkait RKUHP, Pemerintah terus melakukan sosialisasi sebagai sarana untuk memberikan pemahaman masyarakat tentang pentingnya memiliki KUHP Nasional menggantikan KUHP peninggalan kolonial Belanda agar masyarakat bisa mendapatkan kepastian hukum yang berlandaskan pada Pancasila, UUD 1945, dan Hak Asasi Manusia.
Baca juga: Ratusan Mahasiswa Geografi Unnes Antusias Ikut Uji Kompetensi Skema Operator SIG Level |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News