Dilansir dari laman BRIN, GSHS di Indonesia telah dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu pada 2007, 2015, dan 2023. Survei 2023, mencakup 11 topik utama yang melingkupi perilaku diet, hygiene (gigi dan cuci tangan), kekerasan dan cedera, kesehatan mental, penggunaan tembakau, penggunaan alkohol, penggunaan narkoba, perilaku seksual, aktivitas fisik, faktor protektif, dan media sosial.
Pelaksanaan GSHS 2023 mengacu pada manual dan kuesioner versi 2021, dengan desain cross-sectional dan metode two-stage cluster sampling. Sebanyak 79 sekolah di berbagai wilayah menjadi sampel survei, dengan total 10.059 siswa berpartisipasi (respon rate 84,6 persen).
Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi dalam webinar Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi, Tin Afifah, menyoroti berbagai perilaku berisiko yang berdampak negatif pada kesehatan remaja. Misalnya, gangguan kesehatan mental dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas.
Pola makan tidak sehat—seperti konsumsi makanan tinggi lemak, gula, dan garam—berisiko memicu obesitas, penyakit jantung, dan diabetes melitus. Sementara itu, merokok menjadi salah satu faktor risiko utama berbagai penyakit kronis seperti kanker, gangguan jantung, dan pernapasan.
Konsumsi alkohol berlebihan dapat merusak organ hati, meningkatkan risiko penyakit jantung, dan menyebabkan kecelakaan. Penggunaan obat-obatan terlarang berdampak pada kerusakan otak dan kecanduan.
Perilaku seksual yang tidak aman berisiko menyebabkan kehamilan tidak diinginkan serta penularan HIV/PMS. Sementara itu, kurangnya aktivitas fisik berkontribusi terhadap obesitas dan penyakit kardiovaskular.
Hasil survei GSHS 2023 menunjukkan beberapa temuan penting. Salah satunya, tingginya proporsi gangguan kesehatan mental dan upaya bunuh diri pada siswa perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Proporsi siswa perempuan yang secara serius mempertimbangkan bunuh diri lebih tinggi ketimbang siswa laki-laki. Namun, tingkat ini di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan Thailand dan Filipina.
Proporsi siswa perempuan yang pernah mencoba bunuh diri juga lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Namun, angka di Indonesia masih di bawah Brunei Darussalam, Thailand, dan Filipina.
Baca juga: Tak Cuma Orang Kantoran, Anak SMA Juga Bisa Kena Burnout Lho |
Dalam hal pola makan berisiko, siswa laki-laki tercatat lebih sering mengonsumsi minuman berpemanis. Untuk penggunaan tembakau, siswa laki-laki berusia 13-17 tahun lebih banyak menggunakan produk tembakau dibandingkan dengan siswa perempuan.
Namun, tren peningkatan justru lebih signifikan terjadi pada siswa perempuan. Menariknya, penggunaan rokok konvensional di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan Thailand dan rokok elektrik lebih banyak digunakan oleh siswa laki-laki.
Sementara itu, terkait konsumsi alkohol, siswa laki-laki juga tercatat lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan, dengan prevalensi tertinggi di wilayah timur Indonesia (Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku).
Sekitar 1,6 persen siswa di Indonesia tercatat menggunakan obat-obatan terlarang, dengan proporsi lebih tinggi pada siswa laki-laki. Meski persentasenya relatif kecil, angka ini tetap menunjukkan adanya kelompok siswa yang terpapar narkoba.
Terkait perilaku seksual, proporsi siswa laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual lebih besar dibandingkan dengan perempuan. Tren perilaku seksual pranikah juga menunjukkan peningkatan pada kedua kelompok. Sementara itu, dalam aspek aktivitas fisik, siswa laki-laki justru cenderung lebih malas bergerak dibandingkan dengan siswa perempuan.
Afifah menyimpulkan perilaku berisiko di kalangan siswa Indonesia menunjukkan peningkatan bila dibandingkan dengan GSHS sebelumnya. Kecuali, pada indikator kurangnya aktivitas fisik pada siswa perempuan yang justru mengalami penurunan.
Siswa laki-laki lebih menonjol dalam perilaku berisiko seperti konsumsi minuman berpemanis, penggunaan tembakau, alkohol, obat-obatan terlarang, dan perilaku seksual pranikah. Sebaliknya, siswa perempuan menunjukkan proporsi yang lebih tinggi pada masalah kesehatan mental.
Dari segi wilayah, siswa dari kawasan di luar Jawa dan Sumatra memperlihatkan angka perilaku berisiko lebih tinggi dibandingkan dengan region Jawa-Bali dan Sumatra.
“Secara umum, hasil GSHS Indonesia tahun 2023 untuk indikator perilaku berisiko lebih tinggi dibandingkan GSHS Brunei Darussalam tahun 2019, namun masih lebih rendah dibandingkan Thailand (2021) dan Filipina (2019 dan 2024),” ujar Tin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News