Untuk itu, perlu ada upaya mitigasi dan adaptasi untuk menghadapi perubahan iklim, tidak terkecuali bagi sektor pertanian, yaitu budidaya sawah. Petani Indonesia masih mengandalkan sejumlah besar genangan air dalam budidaya sawah. Padahal, hal ini dapat menyebabkan emisi gas rumah kaca dan gas metan.
Dosen dari Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB University Chusnul Arif mengatakan terdapat metode budidaya padi sawah yang mampu mengatasi hal tersebut, yakni System of Rice Intensification (SRI). Dia telah mempelajari dan mempublikasi metode SRI sejak 2008.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
“Sistem SRI mulai diperkenalkan di Madagaskar untuk membudidayakan padi di lahan yang mengalami kekeringan,” papar Chusnul dalam Podcast Teknik Sipil dan Lingkungan Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Fakultas Teknologi Pertanian IPB University dikutip dari laman ipb.ac.id, Kamis, 26 Januari 2023.
Dia menjelaskan terdapat enam prinsip dalam metode SRI. Pertama, benih muda sehingga hanya membutuhkan 7-14 hari dan dapat memotong waktu semai.
Kedua, padi ditanam dengan jarak agak lebar untuk memberikan ruang tanaman dan anakannya untuk tumbuh. Ketiga, satu lubang ditanami satu tanaman.
Keempat, sistem irigasi lebih efektif dengan metode intermiten atau berselang. Kelima, penyiangan intensif untuk mengurangi gulma sekaligus meningkatkan aerasi tanaman. Keenam, sangat direkomendasikan menggunakan pupuk organik untuk menghasilkan produk lebih sehat.
“Kelebihannya, karena penggunaan benih lebih sedikit, tentu lebih hemat. Penghematan air juga bisa sampai 40 persen dan karena kondisinya lebih kering, sehingga gas metan atau emisinya dapat dikurangi,” jelas dia.
Chusnul menyebut meskipun metode ini dinilai prospektif, penerapannya masih rendah karena mindset petani masih memilih metode konvensional. Dia menyebut introduksi metode SRI kepada petani tentu tidak akan mudah.
“Di samping itu, masih terdapat kendala dalam pra pasca panen. Penjualan produk organik biayanya dinilai lebih mahal dan sulit menemukan pasar yang pas,” tutur dia.
Selain itu, petani masih menghadapi berbagai masalah teknis infrastruktur pertanian. Dia menyebut di Indonesia, masih sulit menemukan mesin yang dapat menanam benih satu per satu dengan lebih cepat. Mesin mengatasi gulma dengan cepat juga masih belum ada dan infrastruktur pengairan belum canggih.
“Bila minimal 25 persen lahan sawah di Indonesia dapat diterapkan metode SRI, saya yakin ini dapat meningkatkan produksi beras nasional sehingga bisa swasembada beras,” ujar Chusnul.
Dia mengungkapkan pemerintah juga harus medukung dari sisi kebijakan dan infrastruktur. Perubahan mindset petani juga harus mulai didorong. Perguruan tinggi juga harus bisa menjadi pendamping dan berkolaborasi bersama pihak lain.
“Menurut saya, harus ada usaha untuk meningkatkan minat generasi muda untuk terjun ke dalam sektor pertanian agar dapat menjadi penerus pertanian melalui perubahan mindset,” ujar dia.
Baca juga: Dosen IPB Ungkap Penyebab Kekeringan dan Upaya Mitigasinya |