Dosen Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB University, Asep Sapei, menjelaskan kekeringan merupakan periode suatu wilayah kekurangan air dalam waktu cukup lama. Sebagian wilayah Indonesia dapat mengalami kekeringan dan sebagian lainnya tidak. Bahkan, pada daerah-daerah basah saat musim kemarau seringkali tetap mengalami kekurangan air.
“Periodenya dapat bervariasi, bisa berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Sehingga harus menjadi perhatian karena kekeringan tidak hanya terjadi di wilayah Timur Indonesia, namun wilayah Barat yang basah juga sering mengalami kekeringan,” jelas Asep dalam Podcast Teknik Sipil dan Lingkungan Episode ke-8 dikutip dari laman ipb.ac.id, Kamis, 26 Januari 2023.
Asep menuturkan penyebab utama kekeringan ialah curah hujan rendah di suatu daerah maupun karena siklus hidrologis. Sebagian air hujan akan mengalami retensi, detensi, atau run-off.
"Karena fungsi-fungsi ini mengalami perubahan, sehingga hujan yang jatuh sebagian besar menjadi run-off dan keluar dari daerah tersebut,” papar dia.
Asep mengatakan fenomena El Nino di Kawasan Pasifik semakin memperparah kekeringan. Secara garis besar, menyebabkan uap air di kawasan Indonesia berkurang karena bergerak ke arah berlawanan. Hujan yang biasa terjadi di musim kemarau menjadi berkurang.
Dia menyebut El Nino muncul dua hingga lima tahun sekali. Pada 1997, tercatat merupakan musim kekeringan terparah di Indonesia. Akibatnya, produksi beras nasional menurun hingga 30 persen.
Asep mengatakan ada beberapa kategori dalam klasifikasi kekeringan. Yaitu, ditinjau dari curah hujan di bawah normal. Klasifikasi lainnya, ditinjau dari kekeringan pertanian. Kekeringan pertanian ini akan didahului oleh kekeringan meteorologis.
Kategorinya dipersempit lagi ke dalam tiga kategori, yakni kering, sangat kering, dan amat sangat kering, ditinjau dari tingkat kekeringan daun.
“Sedangkan kekeringan hidrologis dikategorikan berdasarkan kurangnya pasokan air. Baik air permukaan maupun air bawah permukaan. Tidak hanya ditinjau dari air di sektor pertanian, namun penggunaan air untuk keperluan domestik dan industri,” jelas dia.
Asep menyebut adapula istilah kekeringan sosial ekonomi. Biasanya, terjadi setelah kekurangan air untuk sektor pertanian dan sektor lainnya sehingga berdampak kepada kehidupan dan aspek sosial dan ekonomi.
“Mitigasinya dilakukan dengan pengelolaan air hujan yang jatuh sehingga dapat dimanfaatkan pada saat musim kemarau,” ujar dia.
Sementara itu, pengelolaan air hujan terbagi menjadi dua, secara teknis dan non teknis. Secara teknis, dapat dilakukan dengan vegetasi yang mampu menambah daya intersepsi, detensi, dan filtrasi.
Bangunan yang diperuntukkan untuk retensi air hujan juga dapat diterapkan atau diistilahkan dengan rain water harvesting. Bangunan ini dapat berupa embung, kolam kecil, parit, atau waduk.
Selain itu, dapat juga memanfaatkan lubang biopori, sumur resapan, dan sumur injeksi. Maupun penerapan hujan buatan atau monitoring penggunaan air.
“Sedangkan dari sisi non teknis berkaitan dengan regulasi dan budidaya masyarakat sehingga dapat melakukan konservasi air dari sisi penyimpanan dan penggunaannya. Banyak hal yang dapat dilakukan di tingkat individu hingga komunitas,” kata Asep.
Baca juga: Guru Besar IPB Sebut Kebakaran Lahan Gambut Sumbang Emisi Lebih Besar dari Penggunaan Energi |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News