Ilustrasi kebakaran hutan. Medcom.id
Ilustrasi kebakaran hutan. Medcom.id

Guru Besar IPB Sebut Kebakaran Lahan Gambut Sumbang Emisi Lebih Besar dari Penggunaan Energi

Renatha Swasty • 23 Januari 2023 19:13
Jakarta: Guru Besar Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Bambang Hero Saharjo, mengatakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca terbesar di Indonesia bersumber dari kebakaran hutan, khususnya lahan gambut sebesar 50.13 persen. Bahkan emisi yang ditimbulkan lebih besar ketimbang emisi yang bersumber dari penggunaan energi.
 
Hal itu dia sampaikan saat menjadi salah satu narasumber dalam Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) COP 27 pada November 2022. Dia menjelaskan pengendalian kebakaran hutan dan lahan gambut sangat penting karena selalu dipertanyakan di setiap pertemuan internasional.
 
“Kita jangan sekadar melihat penurunan luas kebakaran yang terjadi, namun peningkatan emisi gas rumah kaca di beberapa provinsi juga harus diperhatikan,” ujar Bambang dikutip dari laman ipb.ac.id, Senin, 23 Januari 2023.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Dia menyebut masyarakat dan pemerintah harus sadar kebakaran hutan dapat muncul kapan saja dan tidak menunggu siap atau tidak menghadapinya. Bambang mengungkapkan pada akhir Desember 2022 dan awal Januari 2023, meskipun masih banyak daerah yang sering hujan, namun terdapat kasus kebakaran di beberapa lokasi. Kebakaran terjadi di Sumatra maupun Kalimantan, bahkan ada yang menghanguskan hingga lebih dari 25 hektare lahan.
 
“Seharusnya kita tidak selalu menyalahkan El-Nino saat kebakaran terjadi. Sementara itu, saat La-Nina terjadi kita tidak pernah menyatakan bahwa kebakaran yang berkurang itu adalah karena La-Nina. BMKG telah mengingatkan bahwa La Nina yang terjadi selama tiga tahun (2020, 2021, dan 2022) sudah berakhir dan akan bergeser menjadi El Nino dalam kurun waktu mendatang,” tutur dia.
 
Bambang mengatakan pengendalian kebakaran bersifat wajib jangan cuma dilatarbelakangi El-Nino atau tidak. Kegiatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu pencegahan, pemadaman, dan penanganan pasca kebakaran.
 
Pemadaman kebakaran, kata dia, merupakan keberhasilan semu karena emisi sudah dilepaskan ke atmosfer. Api juga sudah sebagian besar melalap hutan, termasuk lahan gambut. Bahkan, bukan tidak mungkin percepatan subsiden atau turunnya permukaan tanah gambut akan terjadi dengan cepat karena lahan bekas terbakar tidak segera direstorasi.
 
“Bila pencegahan kebakaran hutan sudah dirancang sejak awal secara terencana dan sistematis, maka sesungguhnya persoalan-persoalan itu dapat dikendalikan,” tegas Bambang.
 
Dia menjelaskan masyarakat harus dilibatkan sebagai partner bukan sebagai sparing partner. Berdasarkan hasil kajian dan riset yang telah ia lakukan, bila kelompok masyarakat diajak bersama dalam pengendalian kebakaran sejak awal, dapat memberikan implikasi positif.
 
Penanganan pasca kebakaran juga harus dibarengi dengan penegakan hukum yang dikaitkan dengan upaya pemulihan. Bambang mengatakan penegakan hukum dapat diterapkan melalui sanksi administratif, pidana, maupun perdata.
 
"Pelaku kebakaran harus bertanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan sebagai konsekuensi hukum,” tegas dia.
 
Bambang menuturkan ia telah lama bekerja sama dengan beberapa perguruan tinggi di Amerika Serikat terkait penelitian yang didanai oleh NASA. Riset tersebut terkait dengan emisi gas yang dihasilkan selama kebakaran, khususnya kebakaran gambut melalui pengambilan asap kebakaran gambut. Hasilnya sudah terpublikasi di Jurnal Internasional Q1.
 
“Riset ini mengungkapkan asap kebakaran mengandung sekitar 50 persen gas beracun. Gas tersebut sangat berdampak negatif terhadap kesehatan dan keselamatan manusia,” tutur dia.
 
Penelitian tersebut, kata dia, dilakukan di wilayah Kalimantan dan Sumatra. Salah satu gas beracun ini adalah gas furan yang bisa dihisap oleh ibu yang sedang hamil dan dapat mengakibatkan cacat bagi bayi yang akan dilahirkan. Ada juga gas hidrogen sianida yang mematikan.
 
“Upaya pencegahan kebakaran tidak sekadar dengan mengendalikan dampak negatif yang ditimbulkan tetapi harus turut menjadi pertimbangan setiap stakeholder dan harus sepakat bahwa kejadian ini adalah bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crime),” tegas dia.
 
Bambang menilai perlu ada upaya perbaikan dari aspek pencegahan dalam pengendalian kebakaran. Upaya ini dapat dibantu ahli dengan bantuan teknologi terkini di antaranya satelit. Sehingga, upaya deteksi dan prediksi kebakaran hutan dan lahan dapat lebih presisi.
 
Dia menyebut pengembangan teknologi pencegahan kebakaran hutan dalam upaya penegakan hukum kasus kebakaran hutan dan lahan juga merupakan pertanggungjawaban moral sebagai akademisi.
 
“Selain itu, akademisi juga, harus bersedia bila diminta sebagai ahli di persidangan sebagai bentuk kontribusi terhadap penegakan hukum kebakaran hutan dan lahan gambut. Hal ini dalam rangka menciptakan lingkungan hidup yang lebih baik sebagai hak konstitusi setiap warga negara,” ujar dia.
 
Baca juga: PPLH IPB Sebut Mutu Air Sungai di DKI Jakarta Tercemar Berat

 
(REN)




LEAVE A COMMENT
LOADING

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif