Jakarta: Peraturan Mendikbudristek (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi menuai polemik. Salah satunya, soal beleid yang memunculkan makna jika korban setuju, maka dianggap tidak termasuk pelecehan seksual.
Menanggapi hal itu, Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel menyebut bahwa kondisi itu mirip dengan kalangan yang ngotot Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) disahkan selekas mungkin. Bahkan, mereka menganggap konsensual dan ada tidaknya kekerasan sebagai penentu boleh tidaknya kontak seks.
"Sepintas, itu bagus. Tapi kalau dibaca lebih cermat, nampak kebobrokan moral kita," kata Reza kepada Media Indonesia, dikutip Rabu, 10 November 2021.
Dia menegaskan kontak seks hanya boleh dilakukan dalam lembaga perkawinan. Jadi, betapa pun konsensual atau mau sama mau terpenuhi, tapi kalau dilakukan di luar perkawinan, maka tetap saja amoral dan terlarang.
Baca: Permendikbudristek PPKS Tanpa Cantolan UU, FRI: Bukan Masalah
Artinya, kata dia, jangan menjadikan konsensual sebagai prinsip pertama, apalagi satu-satunya. Yang mutlak harus dipenuhi adalah kontak seks dilakukan setelah lawan jenis yang telah memenuhi syarat perkawinan melangsungkan perkawinan.
"Setelah syarat mutlak itu terpenuhi, baru relevan bicara ada tidaknya prinsip konsensual dalam kontak seks tersebut," tegasnya.
Dia menambahkan, mengedepankan konsensual, tapi mengabaikan perkawinan, sama saja artinya dengan membolehkan perzinaan atau seks di luar pernikahan alias seks bebas. Ketika hal semacam itu menjadi isi peraturan institusi pemerintah, maka kesalahpahaman sudah melembaga dan dampaknya luar biasa berbahaya.
FOLLOW US
Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan