Ketua Majelis Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Lincolin Arsyad mengatakan, perumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2) pada Permendikbudristek itu memuat frasa 'tanpa persetujuan korban'. Frasa ini dinilai mendegradasi substansi kekerasan seksual, dan dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban.
"Rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 5 itu menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan," ujar Arsyad dalam keterangannya, Selasa, 9 November 2021.
Baca: Dianggap Melegalkan Zina, Ini Penjelasan Soal Permendikbudristek Pencegahan Kekerasan Seksual
Menurutnya, aturan itu begitu standar benar dan salah dari sebuah aktivitas seksual tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Pancasila sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi, hanya persetujuan dari para pihak.
"Hal ini berimplikasi selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan tersebut menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah," jelasnya.
Pengingkaran nilai agama melalui sila pertama Pancasila itu juga dinilai bertentangan dengan visi pendidikan. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 31 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Pasal itu menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News