“Kita bisa melihat zaman bihari nenek moyang kita sudah paham akan gempa dan sudah memitigasi terhadap gempa itu dengan bangunan-bangunan konstuksi arsitektur yang tahan gempa sampai 9 atau 10 skala richter,” kata Roza dalam Keurseus Budaya Sunda dengan materi “Arsitektur Sunda” dikutip dari laman unpad.ac.id, Jumat, 20 Januari 2023.
Roza menjelaskan bangunan nenek moyang biasanya berbahan batu, kayu, dan bambu. Salah satu kelebihan penggunaan bambu ialah memiliki daya lentur.
Penggunaan bambu tersebut didasarkan karena nenek moyang sudah mengerti mitigasi terhadap bencana gempa. Dia mengatakan sebagai wilayah yang masuk kawasan zona cincin api (ring of fire) dengan jumlah 140 gunung berapi dan pertemuan antara lempeng Sunda dan lempeng Australia, wilayah ini rawan mengalami gempa vulkanik ataupun tektonik.
Roza menyayangkan masyarakat masa kini tidak memiliki antisipasi tinggal di cincin api (ring of fire) dan rawan terkena bencana gempa. Padahal, tinggal di zona cincin api, harus ada mitigasi bencana serius.
“Gempa-gempa itu mengakibatkan bencana yang tidak bisa kita anggap remeh karena bangunannya yang tidak sesuai dengan antisipasi gempa,” kata Roza.
Roza menyarankan dalam membuat banguan tidak sembarangan dan turut mengantisipasi bencana gempa. Dia menilai bambu merupakan bahan untuk masa depan.
“Jangan sembarangan kita membuat rumah itu. Karena rumah bambu itu dianggap rumah kampungan, orang-orang ada yang malu memakai rumah bambu. padahal justru itu yang paling ramah terhadap lingkungan dan ramah terhadap gempa. Jadi gempa itu bisa diantisipasi,” ujar dia.
Baca juga: Ahli Geologi Unpad Ragu Penyebab Gempa Cianjur dari Sesar Cimandiri: Kemungkinan Sesar Baru |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News