Ilustrasi kesehatan mental. DOK Freepik
Ilustrasi kesehatan mental. DOK Freepik

Kesehatan Mental Gen Z di Tengah Kehidupan Digital

Renatha Swasty • 08 Oktober 2024 12:17
Jakarta: Generasi (Gen) Z hidup di era serba digital yang membuat mereka sangat aktif di internet, khususnya media sosial. Penggunaan media sosial tak cuma memberikan efek positif tapi juga negatif.
 
Tak jarang, media sosial memengaruhi kesehatan mental Gen Z. Hal ini mengemuka dalam Forum JUARA yang diinisiasi oleh Undip, bekerja sama dengan LP3ES, Universitas Paramadina, INDEF, dan KITLV Leiden mengangkat isu Benarkah Gen Z Rentan Depresi? Kesehatan Mental di Tengah Dinamika Kehidupan Digital.
 
Wakil Rektor IV Universitas Diponegoro (Undip), mengatakan lebih dari 5 miliar orang di seluruh dunia menggunakan media sosial. Di Indonesia, 185 juta orang menggunakan internet dengan rata-rata waktu 7 jam 38 menit per hari dan 3 jam 11 menit dihabiskan di media sosial.

Wijayanto menyebut penggunaan media sosial menciptakan ilusi tentang kehidupan sempurna, di mana orang cenderung hanya menampilkan sisi positif hidup mereka. Hal ini mengarah pada fenomena wang sinawang, yakni pengguna media sosial, khususnya remaja putri, sering membandingkan hidup mereka dengan gambaran hidup ideal yang diposting oleh orang lain. Ini menyebabkan perasaan tidak puas dan masalah kesehatan mental seperti kecemasan dan depresi.
 
Guru Besar Psikologi Undip, Dian R. Sawitri, menjelaskan media sosial memiliki karakteristik yang memungkinkan individu menghasilkan dan menyebarkan konten secara luas. Media sosial juga bersifat dinamis dan memungkinkan interaksi dengan banyak orang, tetapi juga memiliki sisi negatif.
 
Konten-konten negatif dan perbandingan sosial yang tidak sehat dapat menyebabkan turunnya rasa percaya diri. Media sosial juga dapat menyebabkan distraksi dan adiksi, terutama di kalangan Gen Z yang sangat terhubung dengan gadget mereka.
 
Gen Z, sebagai generasi digital, sering menunjukkan perilaku seperti memiliki akun media sosial kedua (second account) untuk menampilkan kepribadian yang sebenarnya. Fenomena ini menunjukkan adanya masalah kepercayaan diri.
 
Gen Z, yang terdiri dari 30 persen populasi dunia, dianggap sebagai generasi yang akan mendominasi dunia kerja pada tahun 2025. Mereka dikenal menghargai otonomi, mengedepankan transparansi, menyukai tantangan, dan fokus pada keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi.
 
Namun, mereka juga menunjukkan ketidaknyamanan dengan pengawasan ketat dan lebih memilih model manajemen yang fleksibel. Di sisi positif, media sosial memfasilitasi Gen Z dalam hal koneksi sosial, pembelajaran, dan dukungan online.
 
Mereka menggunakan platform digital untuk mendapatkan informasi, terlibat dalam kegiatan sosial, dan mengekspresikan diri melalui berbagai konten yang dibagikan. Namun, ada juga risiko seperti cyberbullying dan konten negatif yang dapat merusak kesehatan mental mereka.
 
Akademisi Psikologi Universitas Diponegoro, Hastaning Sakti, mengingatkan setiap orang memiliki masa di kehidupannya. Sehingga tidak bisa memberikan cap bahwa Gen Z merupakan generasi lemah.
 
“Jika Gen Z di dalam keluarganya yang masih hidup eyang dan orang tuanya, mereka harus menyesuaikan dengan generasi sebelumnya dan untuk generasi yang akan datang yaitu Generasi Alpha di mana generasi ini lebih melek lagi terhadap digital," ujar dia dikutip dari laman undip.ac.id, Selasa, 8 Oktober 2024.
 
Hastaning mengatakan berbahasa atau menyampaikan sesuatu antar generasi juga berbeda dan terus berkembang di setiap generasinya. Gen Z menggunakan cara komunikasi dan cara berbahasa dengan lebih cepat dan praktis.
 
"Sehingga muncul berbagai singkatan-singkatan baru yang didukung dengan adanya sosial media yang memudahkan untuk komunikasi, jadi tidak jarang sering terjadi gap generasi dalam komunikasi,” tutur dia.
 
Ciri generasi digital bisa dilihat pada seseorang yang memiliki lebih dari satu kepribadian. Bisa dilihat dari kebanyakan Gen Z ini memiliki second account di media sosial.
 
Dalam akun tersebut bisa menunjukkan jati diri sesungguhnya, sementara akun satunya untuk ekspresi tentang diri yang lain. Hal ini dianggap sebagai refleksi ketidakpercayaan diri di kalangan mereka untuk mendefinisikan siapa mereka.
 
Perilaku minim etika tidak jarang terlihat generasi muda ini berani memaki orang lebih tua di media sosial walaupun mereka tidak saling kenal. Berbagai permasalahan yang berkembang di kalangan remaja Indonesia saat ini adalah seks bebas, fenomena pernikahan tanpa ikatan resmi atau kumpul kebo semakin marak di kalangan anak muda saat ini.
 
Perilaku ini menjadi perhatian serius, karena berkaitan dengan degradasi moral dan sosial. Tak hanya itu, masalah kecanduan rokok dan narkoba di kalangan remaja juga meningkat, terutama di lingkungan pendidikan.
 
Mirisnya, keberadaan minuman keras (miras) di sekitar area pendidikan juga turut menyumbang masalah ini, tentu diperlukan kerja sama dengan pihak perguruan tinggi untuk mengatasi masalah ini. Masalah interpersonal juga kerap dialami mahasiswa, seperti konflik dengan pacar, toxic relationship, konflik dengan keluarga dan berbagai masalah lainnya.
 
Obesitas dan gangguan mood seperti depresi atau kecemasan menjadi masalah kesehatan yang sering ditemukan di kalangan remaja dan mahasiswa. Kemudian tingginya angka mahasiswa yang putus sekolah atau mengambil cuti tanpa alasan jelas menjadi perhatian, karena ini menunjukkan adanya problem akademis yang serius.
 
Kurangnya keterbukaan dan komunikasi antara orang tua dan anak menjadi salah satu faktor yang memengaruhi cara berpikir remaja. Hasting menekankan pentingnya mendidik anak sesuai dengan zamannya karena mereka hidup di dunia berbeda dengan generasi sebelumnya.
 
Hastaning menyinggung istilah generasi strawberry di mana menggambarkan generasi yang dianggap rapuh. Namun, perlu dipahami berkembang dalam konteks zaman yang berbeda.
 
“Dilihat dari populasi penduduk di Indonesia, Gen Z menempatkan 29 persen populasi di Indonesia. Artinya Gen Z akan menjadi generasi emas mendatang, jadi penting untuk Gen Z ini mengembangkan skillnya,” tutur dia.
 
Aurora Ardina Fawwaz, seorang Peer Counselor dari Kita Teman Cerita, mengatakan media sosial sering kali membangun standar tidak realistis mengenai pencapaian dan penampilan fisik. Ini dapat menyebabkan perasaan tidak berharga dan tekanan untuk memenuhi ekspektasi yang tidak selalu realistis.
 
Salah satu dampak negatif yang paling umum dari penggunaan media sosial adalah cyberbullying. Seseorang bisa diserang verbal atau dijadikan target pelecehan.
 
Dia mengatakan untuk mengatasi masalah ini, penggunaan media sosial yang bijak sangat diperlukan. Menetapkan batasan dalam penggunaan, seperti membatasi screen time, menentukan tujuan yang jelas dalam menggunakan media sosial, dan berhati-hati dalam memberikan komentar, merupakan beberapa langkah yang bisa diambil untuk menjaga kesehatan mental.
 
BEM Fakultas Psikologi Undip memiliki program bernama Kita Teman Cerita yang menyediakan layanan konseling gratis dan psikoedukasi tentang kesehatan mental. Program ini bertujuan memberikan dukungan kepada mahasiswa dan masyarakat yang mengalami masalah kesehatan mental.
 
Program ini bertujuan memberikan pertolongan pertama bagi mereka yang berada dalam situasi krisis dengan menggunakan prinsip Psychological First Aid.
 
Gen Z sering dihadapkan dengan tekanan sosial dan digital, namun dengan kesadaran kesehatan mental dan dukungan tepat, mereka memiliki potensi besar untuk berkembang menjadi generasi kreatif, inovatif, dan empati. Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu lebih fokus memberikan dukungan kesehatan mental, termasuk menerapkan kebijakan yang melindungi generasi muda dari risiko kesehatan mental yang lebih besar.
 
Baca juga: Gen Z Rentan Stres? Coba Manfaatin 'Mindfulness' Buat Mengelolanya

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan