Laporan ini diterima Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dari orang tua RVR berinisial NS. Wakil Sekjen FSGI Satriwan Salim mengatakan, berdasarkan pengakuan orang tua, sekolah tidak memberikan kesempatan ujian susulan.
"Alhasil, siswa malang tersebut memperoleh nilai 0 (kosong) untuk nilai PAT di lima mata pelajaran," kata Satriwan melalui keterangan tertulis, Kamis, 16 Juli 2020.
Satriwan mengatakan, nilai akhir siswa tersebut di dalam rapor tidak mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM). Adapun lima mata pelajaran tersebut ialah Pendidikan Agama, Pendidikan Jasmani, Seni Budaya, Sejarah Indonesia, dan Informatika.
Menurut Satriwan, oknum guru tersebut juga mengatakan bahwa PAT susulan tak bisa diberikan atas perintah Kepala Sekolah. Padahal, kata dia, yang berhak dan berwenang memberikan penilaian kepada peserta didik adalah guru, bukan kepala sekolah.
Hal ini sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2008 dan PP Nomor 19 Tahun 2017 tentang Guru, ditambah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian.
"Bahkan ketika orang tua siswa mendatangi sekolah meminta PAT susulan bagi anaknya, pihak guru tidak memberikan. Ketika orang tua ingin sekali menghadap kepada Kepala Sekolah, anehnya Kepala sekolah pun tidak mau bertemu dengan ibu siswa tersebut," papar Satriwan.
FSGI menilai tindakan oknum guru dan kepala sekolah ini telah melanggar Pasal 5 huruf a, b, dan c Permendikbud Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian. Aturan itu disebut sangat jelas menyebut prinsip penilaian oleh pendidik wajib dilakukan secara sahih, objektif, dan adil.
"Dalam kejadian ini oknum guru dan kepala sekolah telah berlaku tidak adil, diskriminatif, dan tak objektif," ungkapnya.
Baca: Taman Siswa: Merdeka Belajar Milik Semua Anak Indonesia
Menurut dia, guru dan kepala sekolah sudah semestinya berlaku adil dan objektif, apalagi di tengah pembelajaran daring yang sudah berjalan lebih dari tiga bulan. Satriwan menambahkan, banyak siswa yang mengalami kendala perangkat gawai dan laptop.
Ada faktor kerusakan perangkat, keterbatasan kuota, masalah sinyal, dan hambatan teknis lainnya. "Mestinya sekolah bersikap bijak dan tidak berindak semaunya. Sebab, sekolah adalah entitas pendidikan bukan perusahaan. Kepala Sekolah adalah guru yang seharusnya memberi teladan sebagai pemimpin, bukan pemilik perusahaan," jelasnya.
Sementara itu, Sekjen FSGI Heru Purnomo mengatakan oknum guru dan kepala sekolah di SMA Negeri 2 Nganjuk telah menyalahi Surat Edaran (SE) Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020. Aturan itu menyebutkan, bahwa selama Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) guru tidak boleh mengejar ketercapaian kurikulum. Sebab terbatasnya waktu, sarana, media pembelajaran, dan lingkungan, sehingga pembelajaran banyak terhambat.
"Jadi ada relaksasi kurikulum dalam pesan SE tersebut. Sekolah tak memahami esensi SE Mendikbud tampaknya," ucap Heru.
Dia melanjutkan, dalam kasus tersebut guru dan Kepala Sekolah juga sudah menyalahi Pedoman Penilaian SMA yang dibuat Kemendikbud. Lalu, juga menyalahi UU Perlindungan Anak dan PP tentang Guru.
"Anak berhak mendapatkan penilaian dari guru dan sekolah. Guru berhak dan wajib memberikan nilai kepada peserta didik. Guru juga tidak boleh diintervensi dalam memberikan nilai kepada peserta didik," ungkap Heru
FSGI berniat memediasi kasus antara siswa dan guru tersebut. Menurut Heru, FSGI juga sudah mencoba menghubungi kepala sekolah melalui pesan WhatsApp (WA) secara pribadi dan telepon, tapi tidak ada respon. FSGI kemudian mencoba menghubungi Kepala Dinas Pendidikan setempat, Edy Sukarno mengenai kasus ini.
Tapi, menurutnya, pihak Disdik belum memperoleh jawaban yang detil dari pihak sekolah, khususnya kepala Sekolah. Heru mengatakan, hingga awal tahun ajaran baru yang sudah masuk empat hari, RVR belum mendapatkan sekolah.
"Karena sesungguhnya dia ingin tetap bersekolah di sekolah tersebut. Sambil menunggu kepastian nasibnya dari sekolah, RVR membantu ibunya dengan menjadi pelayan di sebuah kafe di Nganjuk," ucap Heru.
FSGI berencana melaporkan ini ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Inspektorat Jenderal Kemendikbud. FSGI berharap ada jalan tengah yang tak merugikan siswa, sehingga RVR tetap bisa bersekolah di sekolah tersebut. Bagi FSGI, siswa tidak boleh dirugikan dalam proses pembelajaran, apalagi selama PJJ berlangsung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News