Jakarta: Sebanyak lima mahasiswa Filsafat UGM melakukan Eksplorasi Kearifan Lokal Arat Sabulungan di Kepulauan Mentawai, yakni Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan (Pulau Siberut) dan Desa Tuapejat, Kecamatan Tuapejat (Pulau Sipora), Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat Mereka yani, Aza Khiatun Nisa, Nur Amalia Fitri, Muhammad Farid Wajdi, Kartika Situmorang, dan Moch Zihad Islami.
Aza Khiatun Nisa mengatakan salah satu tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini yaitu kearifan lokal Arat Sabulungan bisa menjadi salah satu model nasional yang dituangkan dalam strategi pembangunan berkelanjutan berbasis kultur. Penelitian berfokus pada tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) pada poin ke-12 yakni Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab dan poin ke-13 yakni Penanganan Perubahan Iklim.
“Sejalan dengan penemuan yang didapatkan yakni pembangunan berkelanjutan yang memiliki kesan modern bisa berkolaborasi dengan kearifan lokal,” kata Aza diutip dari laman ugmacid, Selasa, 30 Agustus 2022.
Dari hasil riset yang bertajuk Arat Sabulungan: Eksplorasi Konsep Penanganan Perubahan Iklim dan Konsumsi Sumber Daya Berkelanjutan pada Masyarakat Mentawai diketahui Arat Sabulungan menuntun masyarakat Mentawai menjaga hutan agar tercipta keseimbangan hidup antara komponen fisik dan non-fisik. Terdapat enam temuan praktik tradisi yang mengatur dan membatasi penggunaan sumber daya alam yakni kei-kei (tabu dan larangan), tulou (denda), alak toga (mas kawin), panaki (ritual minta izin), punen (pesta), dan leleiyo atau urai simatak (lagu rakyat).
Aza menjelaskan Arat Sabulungan bagi masyarakat Mentawai memiliki peran dan kedudukan sebagai prinsip religius sekaligus filosofis hidup di samping mereka juga memeluk agama resmi. Arat Sabulungan juga berperan sebagai sistem hukum dan norma sosial serta sebagai prinsip konservasi lingkungan.
“Salah satu contoh konservasi lingkungan yakni terkait izin. Pada izin terhadap pembangunan jalan, gedung, atau yang lainnya dari pemerintah tidak hanya sebatas pada pemerintah pusat melainkan juga pada masyarakat Mentawai melalui sikerei atau ketua adat,” paparnya.
Pada penelitian ini, Aza bersama rekannya menjadikan sikerei atau ketua adat, Aman Sasali, menjadi salah satu narasumber riset dalam mendalami sejarah Arat Sabulungan. Aman menyebut istilah Arat Sabulungan itu merangkul banyak makna, di dalamnya ada adat, agama, pesta, dan tradisi.
“Secara singkat, Arat itu adat. Sabulungan itu ritual. Kata bulung diambil dari kata tumbuh-tumbuhan. Jadi, singkatnya adalah adat yang diambil dari alam," papar dia.
Namun, Arat Sabulungan menurutnya bukan hanya sebatas izin di atas kertas melainkan juga perlu ada izin ritual agar tidak diganggu oleh roh-roh leluhur. Sebab, masyarakat Mentawai memahami hutan yang mereka pakai adalah warisan untuk cucu-cucu mereka.
“Dulu ada yang pernah minta buka jalan. Kami bukannya tidak mau dikasih uang, tetapi berpikir bahwa itu tidak sebanding dengan masa depan cucu-cucu kami nantinya. Sekarang juga banyak kayu-kayu yang sudah tidak sebesar dulu," papar Aman.
| Baca juga: Genetika Geologi Gunung Tangkubanparahu Lewat Legenda Sangkuriang |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id