Kampus Unpad. Foto: Dok. Unpad
Kampus Unpad. Foto: Dok. Unpad

Pemudik Marah-marah, Pakar Unpad: Tak Cukup Minta Maaf

Citra Larasati • 18 Mei 2021 15:29
Jakarta: Pakar psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Dr. Ahmad Gimmy Pratama, M.Si., Psikolog.menyayangkan tindakan pemudik marah yang viral di media sosial saat diminta aparat untuk memutar balik beberapa waktu lalu.  Terlebih lagi tindakan tersebut hanya berakhir dengan permintaan maaf.
 
Menurut Gimmy, permintaan maaf saja tidak membuat seseorang menjadi lebih matang dan jera.  “Sebetulnya perlu dikendalikan dan diberi punishment (hukuman),” kata Gimmy dikutip dari laman Unpad, Selasa, 18 Mei 2021.
 
Ia menjelaskan, sanksi yang diberikan tidak perlu dilakukan hukuman kurungan penjara. Namun, sebaiknya diberi sanksi sosial. Polisi sebaiknya melakukan pendekatan restorative justice atau pendekatan yang menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan atau keseimbangan bagi pelakunya.

“Jangan hanya minta maaf lalu selesai. Harusnya ada hukuman sosial, seperti bersih-bersih kantor polisi atau kerja sosial lainnya. Biar orang melihat bahwa pelaku tersebut dihukum,” ujarnya.
 
Efek jera harus diberikan kepada pelaku. Ini disebabkan, reaksi marah berlebihan akan berdampak buruk. Salah satunya jika reaksi tersebut dilihat langsung oleh anak kecil.
 
Baca juga:  Fenomena Pemudik Marah-marah, Ini Penjelasan Psikolog Unpad
 
Dosen yang memiliki keahlian di bidang psikoterapi dan psikologi positif ini menjelaskan, anak yang melihat langsung bagaimana orang tua ataupun orang dewasa mengeluarkan reaksi marah berlebih akan diikuti ketika ia dewasa.
 
“Kalau anak kecil melihat reaksi-reaksi tersebut, maka nanti dia akan berpikir bahwa kalau kesal boleh demikian. Itu yang mengkhawatirkan,” tuturnya.
 
 

 
Manajemen Marah
 
Perilaku marah bisa dikelola dengan baik. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengenali situasi dan menyiapkan tindakan antispatif.
 
Pandemi covid-19 mendorong seseorang harus bisa menyiapkan sejumlah tindakan antisipatif. Salah satunya menerima adanya kebijakan pembatasan mobilitas.
 
Dengan mengenali situasi dan menyiapkan tindakan antisipasi, diharapkan emosi yang keluar akan jauh lebih layak.  Jika emosi berlebihan terlanjur keluar, seseorang perlu menyampaikan permintaan maaf.
 
Namun, permintaan maaf tersebut perlu dibarengi dengan konsekuesi yang harus ditanggung. “Harus diperlihatkan bahwa tingkah laku tersebut adalah salah dan perlu menerima konsekuensinya,” tegas Gimmy.
 
Terakhir, kata Gimmy, seseorang perlu membiasakan diri untuk mampu mengungkapan emosi dengan cara yang pantas. Namun, hal ini tidak bisa secara instan. Butuh proses yang panjang dan komitmen tinggi untuk bisa mengelola emosi dengan baik.
 
Bahkan, Gimmy menganjurkan agar proses kelola emosi ini sudah dilatih sejak dini.  “Biasakan untuk berpikir apakah marah ini benar atau tidak. Itu yang harus dilatih dan tidak bisa serta merta langsung pintar,” pungkasnya.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(CEU)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan