"Dengan ini kami, Aliansi Peduli Pendidikan memohon kepada Presiden RI Bapak Joko Widodo untuk berkenan menunda pembahasan RUU Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisidiknas) masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2022 dan pengesahan menjadi UU Sisdiknas tahun 2022," dalam surat Aliansi Peduli Pendidikan dikutip dari Mediaindonesia.com, Selasa, 30 Agustus 2022
Permohonan penundaan itu berdasarkan beberapa alasan. Pertama, RUU Sisdiknas 2022 dinilai setara dengan Omnibus Law bidang Pendidikan Nasional yang menggabungkan tiga undang-undang, yaitu UU Sisdiknas, UU Pendidikan Tinggi, dan UU Guru dan Dosen.
Namun, aliansi menilai integrasi ketiga undang-undang tersebut tidak jelas sehingga ketika diimplementasikan akan mengalami persoalan di lapangan. Sebab, banyak hal yang diatur dalam UU Guru dan Dosen maupun dalam UU Pendidikan Tinggi tidak termuat dalam RUU Sisdiknas.
Sebagai Omnibus Law mini, pengintegrasian dan pengharmonisasian semestinya mencakup 23 undang-undang lain yang berkaitan dengan pendidikan.
Kedua, RUU Sisdiknas disebut cacat unsur legislasi formil karena penyusunan seperti hantu, tidak transparans, terburu-buru, dan dikerjakan di ruang gelap, serta tidak melibatkan ahli dari berbagai bidang. Alinasi juga menilai minim kolaborasi yang baik antara kementerian dan penyelenggara pendidikan di lapangan dari Sabang sampai Merauke, baik di kota maupun daerah terpencil.
Ketiga, belum tersedianya Road Map, cetak biru atau, Grand Design Pendidikan Nasional yang merupakan prasyarat untuk dapat menyusun RUU Omnibus Law Sisdiknas yang efficient dan sustainable. Keempat, naskah akademik dan draf RUU Sisdiknas tidak menunjukkan pemikiran dan konsep besar yang visioner, melainkan hanya mengabdi pada kepentingan kelompok tertentu. RUU seperti ini akan menjauh dari tercapainya tujuan pendidikan nasional.
"RUU Sisdiknas yang sudah masuk ke DPR sekarang ini tidak memperlihatkan secara jelas, apakah RUU ini hanya untuk sekolah/kampus dibawah tanggung jawab Kemdikbudristek saja atau juga mencakup madrasah yang dibawah Kementerian Agama? Mengacu pada UU Sisdiknas yang ada sekarang berlaku untuk sekolah/kampus dibawah Kemdikbudristek maupun Kemenag," bunyi poin kelima.
Selanjutnya, keenam RUU Sisdiknas akan mendorong percepatan alih status PTN menjadi PTN Badan Hukum, (PTN BH). Padahal dalam praktiknya, PTN BH yang ada saat ini cenderung komersial sehingga makin sulit diakses oleh masyarakat kebanyakan.
"Dalam penerimaan mahasiswa baru, RUU Sisdiknas ini justru mengalami kemunduran dibandingkan dengan UU Pendidikan Tinggi yang memberikan perhatian khusus pada mereka yang tinggal di daerah 3T (Tertinggal, Terluar, dan Terdepan)," bunyi poin ketujuh.
Kedelapan, tidak ada sikap jelas dari pemerintah mengenai wajib belajar itu gratis atau membayar. Selain itu, poin berikutnya, dihilangkannya peran masyarakat melalui Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Poin kesembilan, penyusun RUU Sisdiknas dinilai seperti tidak mengerti adanya pembagian kewenangan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah. Poin terakhir, RUU Sisdiknas yang akan mengatur nasib bangsa dan negara diharapkan disusun secara cermat dengan melibatkan banyak pihak dan tidak tergesa-gesa.
"Kerusakan dalam regulasi pendidikan itu berarti akan timbulnya kerusakan bangsa selama tiga generasi. Oleh karena itu kami dengan sangat memohon kepada Bapak Joko Widodo selaku Presiden RI untuk menunda pembahasan RUU Sisdiknas tersebut," pesan Aliansi Peduli Pendidikan.
Baca juga: Sejumlah Fraksi Minta RUU Sisdiknas Ditolak Masuk Prolegnas Prioritas 2023 |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News