"Jadi bukan warisan untuk mereka yang kita beri dalam keadaan rongsokan misalnya. Justru ini adalah milik mereka yang harus kita rawat, sehingga Kitab Isa menghindari hal-hal yang meleset dari pengelolaan kebudayaan tidak terstandar," kata Purnawan mengutip siaran pers UNAIR, Rabu, 4 Agustus 2021.
Purnawan mengatakan, amat disayangkan ketika kemajuan zaman kemudian berdampak pada hilangnya peninggalan kebudayaan berupa cagar budaya. Warisan budaya itu biasanya menyangkut gedung lama yang seringkali dilupakan.
"Sifat dari orang Indonesia yang menginginkan hal-hal baru, maka kemudian gedung tersebut (gedung cagar budaya) dihancurkan," tutur Purnawan.
Menurut dia, lokasi cagar budaya yang strategis di tengah kota, menjadi hal yang menyebabkan para investor 'menukarnya' dengan bangunan baru. Bagi Purnawan, seharusnya bangunan cagar budaya dapat dijadikan penanda sejarah.
"Misalnya kita mengaku bahwa umur Kota Surabaya sudah 728 tahun, tapi kita tidak memiliki bukti karena semua bangunan tua sudah dirobohkan," jelas Dekan FIB UNAIR itu.
Baca: Mengulas Fenomena Bahasa Arab di Indonesia
Ia pun menekankan, semua pihak harus arif untuk mengelola kelestarian cagar budaya di tengah situasi yang terus berkembang dan aspek global yang menekan. Bahkan, menurutnya, aspek kebudayaan tersebut bisa ditawarkan kepada masyarakat global untuk memperlihatkan kekayaan kita dalam bentuk cagar budaya.
"Jadi justru ada namanya paradoks globalisasi. Di tengah globalisasi justru kan sekarang banyak negara menawarkan aspek-aspek kelokalan. Sehingga kita harus hati-hati, jangan sampai kemudian tawaran sesaat terkait dengan isu global itu akan menghancurkan kekayaan yang bersifat lokal," terangnya.
Ia menambahkan, terdapat dua sisi dari pembangunan yang berpotensi merusak cagar budaya. Sebab di sisi lain, pembangunan tersebut memang dapat melayani kepentingan wisatawan global. "Tapi justru kontraproduktif, karena wisatawan datang ke Indonesia itu kan ingin melihat keunikan budaya yang berkembang di sini," ujarnya.
Purnawan pun mengimbau agar segala kebijakan tentang budaya dibuat lebih arif, agar tidak menjadi fatal. Sebab, hal itu bisa merugikan aspek-aspek yang nilainya bersifat jangka panjang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News