Ilustrasi: Medcom
Ilustrasi: Medcom

Guru Besar Puji 4 Mahasiswa UIN Yogyakarta yang Menangkan Gugatan Presidential Threshold

Citra Larasati • 06 Januari 2025 16:15
Jakarta:  Sejumlah mahasiswa yang berasal dari lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) menjadi pemohon dalam perkara Presidential dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.  Mereka adalah mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
 
“Para pemohon yang berasal dari mahasiswa PTKIN ini menunjukkan pesan tersirat bahwa kualitas mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum di lingkungan PTKIN ini teruji dan mumpuni,” kata Guru besar UIN Jakarta Ahmad Tholabi Kharlie di Jakarta, dikutip dari laman Kemenag, Senin, 6 Januari 2025.
 
Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Jakarta Tholabi menyebutkan, sebelumnya mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum di lingkungan PTKIN juga pernah muncul saat melakukan gugatan UU Pilkada mengenai usia calon kepala daerah melalui putusan MK No 70/PUU-XXI/2024 tentang penghitungan syarat usia calon kepala daerah terhitung saat penetapan pasangan calon. Pada Agustus 2024, pemohon perkara putusan merupakan mahasiswa Prodi Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Syarian dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

“Mahasiswa PTKIN yang berasal dari Generisi Z ini menunjukkan kualitas keilmuwan dan memiliki kepedulian atas persoalan sosial di sekitarnya. Ini sinyal yang baik untuk semakin menguatkan kualitas pendidikan syariah dan hukum di lingkungan PTKIN,” terang Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum PTKIN Periode 2019-2023 ini.
 
Terkait Putusan MK No 62/PUU-XXII/2024, Tholabi menilai bahwa pembatalan norma presidential threshold (PT) dalam UU Pemilu memberi pesan penting dalam proses demokratisasi melalui pemilihan presiden. “MK telah membuka kotak pandora dalam pilpres, di mana ruang kandidasi calon presiden di Pemilu 2029 makin terbuka lebar,” sebutnya.
 
Meski demikian, menurut Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar HTN-HAN (APHTN-HAN) ini, ketentuan lebih detail harus dirumuskan oleh DPR dan Pemerintah dengan memerhatikan panduan dari MK dalam melakukan rekayasa konstitusional melalui perubahan UU Pemilu. “Pada poin perubahan UU Pemilu inilah, DPR dan pemerintah harus mendorong munculnya partisipasi publik yang bermakna,” tegasnya.
 
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan para Pemohon sepanjang pengujian Pasal 302 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dapat diterima. Sementara MK menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
 
Selain KUHP, para Pemohon Perkara Nomor 146/PUU-XXII/2024 juga menguji Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk), Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Pasal 12 ayat (1) huruf a dan Pasal 37 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
 
Menurut para Pemohon, kebebasan beragama sebagaimana dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 seharusnya pada penerapannya termasuk kebebasan untuk tidak menganut agama tertentu atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME).
 
Dengan berdasar kepada anggapan ini, para Pemohon memohonkan pengujian sejumlah norma dalam undang-undang berkenaan penerapan hak beragama, yaitu pengakuan hak untuk tidak beragama dalam undang-undang yang mengatur tentang HAM, hak untuk tidak menyebutkan agama atau kepercayaan tertentu dalam data kependudukan, hak untuk mendapatkan pengakuan perkawinan yang tidak didasarkan agama atau kepercayaan, serta hak untuk tidak mengikuti pendidikan agama dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi.
 
Baca juga:  Kemendikdasmen Dukung Putusan MK: Pendidikan Agama Wajib di Sekolah

Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh mengatakan materi muatan UUD NRI Tahun 1945 secara eksplisit dilengkapi dengan frasa atau prinsip-prinsip yang bersifat religi atau keagamaan (religius). Muatan bernuansa religius dalam UUD NRI Tahun 1945 di antaranya pembukaan alinea ketiga, alinea keempat, Pasal 9 ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28J ayat (2), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), serta Pasal 31 ayat (3).
 
“Telah jelas bahwa UUD NRI Tahun 1945 adalah konstitusi yang meyakini keberadaan Tuhan Yang Maha Esa atau dapat dikatakan sebagai konstitusi yang religius (godly constitution),” ucap Daniel dalam sidang pengucapan putusan pada Jumat (3/1/2025) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan