“Kemendikdasmen menyambut baik dan siap melaksanakan keputusan MK tersebut. Keputusan Mahkamah Konstitusi sangat tepat, sejalan UUD 1945 yang menegaskan tujuan pendidikan untuk membentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia,” ujar Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, di Jakarta, dikutip dari siaran persnya, Sabtu, 4 Januari 2025.
Mu’ti menambahkan, keputusan mewajibkan Pendidikan Agama di sekolah sekaligus memperkuat UU Sistem Pendidikan Nasional 20/2003 yang menyebutkan setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama seusai dengan agamanya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Salah satu Hakim MK, Arief Hidayat, menilai bahwa pengajaran agama dalam dunia pendidikan telah berlangsung sejak lama dan merupakan konsekuensi penerimaan Pancasila sebagai ideologi. Menurutnya, MK berpandangan pendidikan nasional harus dilaksanakan secara demokratis dan berkeadilan sembari tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
“Pendidikan nasional bertujuan untuk membentuk potensi peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa. Pendidikan nasional dalam tingkat apapun tidak dapat dilepaskan dari nilai keagamaan,” ujarnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan para Pemohon sepanjang pengujian Pasal 302 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dapat diterima. Sementara MK menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya. Selain KUHP, para Pemohon Perkara Nomor 146/PUU-XXII/2024 juga menguji Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM), Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk), Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Pasal 12 ayat (1) huruf a dan Pasal 37 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Baca juga: Program Prioritas Pendidikan Dasar dan Menengah Butuh Dukungan Semua Pihak |
Menurut para Pemohon, kebebasan beragama sebagaimana dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 seharusnya pada penerapannya termasuk kebebasan untuk tidak menganut agama tertentu atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME).
Dengan berdasar kepada anggapan ini, para Pemohon memohonkan pengujian sejumlah norma dalam undang-undang berkenaan penerapan hak beragama, yaitu pengakuan hak untuk tidak beragama dalam undang-undang yang mengatur tentang HAM, hak untuk tidak menyebutkan agama atau kepercayaan tertentu dalam data kependudukan, hak untuk mendapatkan pengakuan perkawinan yang tidak didasarkan agama atau kepercayaan, serta hak untuk tidak mengikuti pendidikan agama dalam penyelenggaraan pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi.
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh mengatakan materi muatan UUD NRI Tahun 1945 secara eksplisit dilengkapi dengan frasa atau prinsip-prinsip yang bersifat religi atau keagamaan (religius). Muatan bernuansa religius dalam UUD NRI Tahun 1945 di antaranya pembukaan alinea ketiga, alinea keempat, Pasal 9 ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), Pasal 28J ayat (2), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2), serta Pasal 31 ayat (3).
“Telah jelas bahwa UUD NRI Tahun 1945 adalah konstitusi yang meyakini keberadaan Tuhan Yang Maha Esa atau dapat dikatakan sebagai konstitusi yang religius (godly constitution),” ucap Daniel dalam sidang pengucapan putusan pada Jumat (3/1/2025) di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News