Peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Amien Widodo. DOK ITS
Peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Amien Widodo. DOK ITS

Peneliti ITS Ungkap Penyebab Tanah Bergerak dan Bencana di Sukabumi dan Mitigasinya

Renatha Swasty • 10 Desember 2024 17:13
Jakarta: Cuaca ekstrem yang melanda sejumlah wilayah Indonesia menyebabkan berbagai bencana. Salah satunya, tanah bergerak, banjir bandang, hingga tanah longsor di Sukabumi, Jawa Barat.
 
Peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Amien Widodo, menjelaskan fenomena tanah bergerak di Sukabumi disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya, perubahan penggunaan lahan di kawasan pegunungan.
 
Perubahan tersebut tidak terjadi mendadak, melainkan melalui proses panjang yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Salah satu bentuk perubahan yang paling mencolok terjadi adalah pada lahan di sisi kiri dan kanan jalan yang memotong lereng gunung.

Awalnya, pemotongan lereng untuk pembangunan jalan, yang secara langsung mengganggu stabilitas lereng akibat peningkatan sudut kemiringan. Selanjutnya, permukiman mulai bermunculan di sekitar jalan, baik di sisi kiri, kanan, atas, maupun bawah jalan.
 
Penduduk sering kali membersihkan lahan dengan menebang pohon, sehingga daya kohesi tanah menurun. Kondisi ini diperburuk oleh pemotongan lereng untuk pembangunan rumah, yang semakin meningkatkan sudut kemiringan lereng dan membuat stabilitasnya menjadi semakin kritis.
 
Amien juga menjelaskan semakin banyak dan beratnya bangunan di sekitar lereng berkontribusi pada bertambahnya massa tanah yang memperburuk kondisi. Hal ini akan muncul retakan yang semakin lebar, banyak, dan tanah yang semakin turun.
 
“Inilah yang biasa orang awam sebut sebagai tanah ambles,” ujar Amien dalam keterangan tertulis yang diterima Medcom.id, Selasa, 10 Desember 2024.
 
Pakar geologi ITS ini juga menyoroti fenomena cuaca ekstrem akibat pemanasan global yang akhirnya memperparah kondisi. Pemanasan global meningkatkan intensitas hujan, angin, hingga gelombang laut.
 
Dampak ini terlihat pada fenomena La Niña yang menyebabkan curah hujan meningkat hingga 20 persen lebih tinggi dari biasanya. “Curah hujan yang tinggi seperti ini menjadi pemicu utama terjadinya tanah bergerak,” papar Amien.
 
Baca juga: Kemendikdasmen Berikan Bantuan ke Sekolah Terdampak Banjir-Longsor di Sukabumi dan Cianjur

Amien mengatakan perubahan paling signifikan terlihat dari topografi Sukabumi yang kini mengalami perubahan akibat aktivitas manusia. Kawasan yang sebelumnya menjadi area resapan air kini berubah fungsi.
 
Akibatnya, air hujan tidak dapat meresap secara optimal ke dalam tanah, melainkan mengalir sebagai air permukaan yang memicu erosi, banjir, dan tanah longsor. “Proses ini mempercepat ketidakstabilan tanah, terutama di wilayah dengan banyak pemotongan bukit,” ujar dosen Departemen Teknik Geofisika ITS tersebut.
 
Untuk mengatasi masalah ini, Amien menyarankan pengembalian fungsi hutan di puncak bukit. Menurutnya, kawasan tersebut seharusnya dikonservasi dan tidak digunakan untuk aktivitas manusia.
 
Langkah ini akan membantu menjaga keseimbangan ekologis dan mengurangi risiko bencana di masa depan. “Kita perlu menghitung kembali kapasitas resapan dan aliran air di kawasan tersebut,” ujar dia.
 
Sementara itu untuk mitigasi bencana, Amien menilai upaya pemerintah sebenarnya sudah cukup baik, terutama dalam penyusunan peta kawasan rawan bencana. Namun, ia menekankan perlunya tindakan lebih lanjut untuk mengedukasi masyarakat dan memberikan solusi konkret di daerah rawan, seperti segera mengungsikan warga di sekitar daerah retakan tanah hingga langkah perbaikan dilakukan.
 
Pakar mitigasi kebencanaan ini juga menyoroti perlunya regulasi tata ruang yang lebih tegas. Amien menyarankan kolaborasi lintas kementerian untuk menyusun kebijakan yang dapat mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut.
“Ini saatnya berbagai pihak duduk bersama untuk mengatasi masalah ini secara terintegrasi,” tegas dia.
 
Amien juga mengingatkan masyarakat untuk lebih waspada terhadap tanda-tanda awal pergerakan tanah. Retakan tanah, rumah yang mulai miring atau retak, serta tiang listrik yang bergeser adalah beberapa indikator yang perlu diperhatikan.
 
“Jika tanda-tanda ini terlihat, warga diharapkan segera mengungsi ke lokasi aman dan segera laporkan kepada pihak yang berwenang seperti BPBD setempat agar segera dilakukan kajian dan mengungsi jika diperlukan," ujar Amien.
 
Meski Sukabumi menjadi sorotan utama wilayah yang terdampak, Amien mengingatkan bencana serupa juga dapat terjadi di wilayah lain di Indonesia. Sebagian besar wilayah di Indonesia dengan kondisi iklim tropis rentan terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan banjir bandang.
 
“Melalui regulasi yang tepat dan edukasi masyarakat yang baik, dampak bencana seperti ini dapat diminimalkan,” ujar dia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan