Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek, Anindito Aditomo. Medcom.id/Ilham Pratama Putra
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbudristek, Anindito Aditomo. Medcom.id/Ilham Pratama Putra

Ini Alasan Skor PISA Indonesia Stagnan dalam 20 Tahun

Ilham Pratama Putra • 07 Desember 2023 12:06
Jakarta: Skor kemampuan membaca, matematika, dan sains siswa Indonesia dalam Programme for International Student Assessment (PISA) stagnan dalam 20 tahun terakhir. Bahkan, dalam rilis Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada PISA 2022, skor Indonesia turun.
 
"Kalau kenapa bisa turun di 2022 itu jawaban utamanya adalah pandemi. Ini bukan beralasan, cari-cari alasan. Karena pandemi ini beneran kejadian," kata Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, saat diskusi dengan media di Jakarta, Rabu, 6 Desember 2023.
 
Namun, penurunan skor PISA sejatinya tak hanya terjadi di 2022. Skor PISA Indonesia mengalami pola naik turun sejak Tahun 2000.

Sehingga, bisa dikatakan skor PISA Indonesia dalam 20 tahun terakhir mengalami stagnasi. Pria yang akrab disapa Nino itu menjelaskan persoalan yang membuat stagnansi skor PISA Indonesia selama 20 tahun.
 
"Kenapa sebelum pandemi, 20 tahun dari 2000 ke 2018 basically flat kita? Jawaban saya karena kualitas itu tidak pernah menjadi target. Memang pemerintah belum pernah mentargetkan kualitas hasil belajar sebelum era Mas Menteri (Nadiem Makarim)," jelas Nino.
 
Nino memaparkan target peningkatan kualitas pembelajaran yang diusung Kemendikbudristek pada era Nadiem terdapat pada Rencana Strategis Kemendikbudristek. Meskipun, hal tersebut belum dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).  
 
Dia menyebut selama 20 tahun terakhir, pemerintah masih berfokus pada perluasan akses pendidikan, bukan kualitas pendidikan.
 
"Dan karena targetnya itu, akses kita meningkat terus. Akses untuk SMP dan SMA itu meningkat signifikan dalam 20 tahun terakhir. Saya enggak mengatakan itu salah. Mungkin memang 20 tahun terakhir fokus akses itu fokus yang tepat. Karena kita ingin agar sebanyak mungkin anak Indonesia itu ada di sekolah," jelas dia.
 
Nino memaparkan pada Tahun 2000, hanya 50 persen remaja Indonesia ada di bangku SMA. Karena itu, perluasan akses menjadi penting, hingga akhirnya di Tahun 2022 sudah 74 persen remaja Indonesia berada di bangku SMA.
 
Alasan berikutnya, anggaran di Kemendikbudristek terbatas. Nino mengatakan anggaran untuk program kualitas pendidikan tidak sampai 5 persen.
 
"Kira-kira Rp5 triliun dari Rp80 trilun, 4 persen atau enggak sampai 4 persen. Jadi, ruang fiskal kita masih terbatas," jelas dia.
 
Kini, Indonesia telah menatap pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen. Dia berharap ada pertumbuhan anggaran pendidikan sebesar 5 persen setiap tahunnya.
 
Sehingga, anggaran akan difokuskan untuk peningkatan kualitas pendidikan. Sebab, bila terus menerus untuk perluasan akses, skor kualitas pendidikan akan terus staganan.
 
"Atau ya kalau ada pertumbuhan penambahan anggaran pendidikan dipakai untuk program kualitas, pelatihan guru, pengembangan kepala sekolah, dan lain-lain. Kita berharap karena RPJP-nya sudah memasukkan kualitas hasil belajar, moga-moga nanti penambahan anggaran pendidikan itu sebagian besar bisa dialokasikan ke kualitas juga. Bukan memperluas akses," tutut Nino.
 
Dia menyebut stagnansi juga disebabkan kakunya kurikulum dalam 20 tahun terakhir. Kurikulum pendidikan Indonesia bersifat sangat rigid yang formatnya ditentukan oleh pemerintah pusat, materi ajar yang diatur tiap minggu, hingga materi buku yang harus dihabiskan.
 
Akhirnya, pemerintah membatasi otonomi guru. Nino mengatakan guru tampak sebagai birokrat yang melaksanakan apa saja yang diminta pemerintah.
 
Nino menuturkan paling ekstrem, sekolah mencetak modul Kurikulum 2013, kemudian mengganti nama sekolah, mengganti semester, tahun, dan guru langsung mengajar. Hal ini berimplikasi dari kebijakan yang menempatkan guru sebagai birokrat.
 
"Implikasinya adalah guru tidak punya keberanian, tidak punya kemauan, dan tidak punya keperluan untuk belajar, tidak belajar mengajar dengan benar, dengan lebih baik. Karena memang mereka ditempatkan sebagai birokrat, bukan pendidik profesional," tutur Nino.
 
Baca juga: Alasan Penurunan Skor PISA Karena Pandemi Covid-19 Tak Bisa Dimaklumi

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(REN)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan