Demo mahasiswa pada 1998. Foto: Bayquni
Demo mahasiswa pada 1998. Foto: Bayquni

Reformasi 1998: Baru, Sudah, atau Kemana Perginya Peristiwa 27 Tahun Itu?

Ilham Pratama Putra • 21 Mei 2025 16:47
Jakarta: Tanggal 21 Mei 1998 bukan hanya soal akhir cerita Orde Baru. Bukan hanya soal jatuhnya Soeharto dari singgasana Istana Negara. 
 
Soeharto memang resmi mundur sebagai Presiden di hari itu. Namun, hari-hari sebelumnya, negara dihiasi toko-toko yang dibakar, warga sipil tewas, mahasiswa ditembak entah oleh siapa, juga aktivis diculik dan tak pernah kembali.
 
21 Mei 1998 sebenarnya bisa datang lebih awal. Serupa upaya desakan pemuda kepada Soekarno untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 16 Agustus 1945 dalam peristiwa Rengasdengklok.

Mahasiswa dari berbagai kampus, berbagai forum, pada 1998 pernah berada dalam debat kusir menjatuhkan Soeharto lebih awal. Ada sosok, Adian Napitupulu-kini politisi PDIP, yang ingin Soeharto bisa jatuh sebelum 21 Mei 1998. 
 
Dalam sebuah diskusi pada 17 Mei 1998, seorang koordinator lapangan aktivis 1998 dari Jaringan Kota (Jarkot), Bayquni berhadapan langsung dengan Adian. Adian sebagai salah satu  pendiri Jarkot, ingin ada aksi besar menggulingkan Soeharto pada 18 Mei 1998. 
 
"Adian cukup memaksa untuk melakukan demonstrasi pada hari Senin (18 Mei 1998) ke DPR. Saya ngotot untuk bilang tidak mungkin, karena represif, atau kekuatan Soeharto masih tinggi. Tapi Adian memaksa pada saat itu," ungkap Bayquni kepada Medcom.id, Rabu 21 Mei 2025. 
 
Di sana, kata dia, terjadi debat yang kusir. Hingga akhirnya Bayquni memahami keinginan Adian. Jarkot yang kemudian bertransformasi menjadi Forum Kota (Forkot) itu pun akhirnya turut mengiyakan. 
 
"Dan saya membawa jumlah mahasiswa yang banyak. Karena kebutulan saya di Moestopo (Universitas Prof. Dr. Moestopo) dan ada di bagian eksternal, akhirnya saya bisa turunin mahasiswa begitu banyak, dan saya buktikan ke Adian kalau saya tidak bohong, kita turun di depan DPR MPR sampai masuk gedung kura-kura," terangnya.
 
Namun kala itu, benar saja yang dikhawatirkan Bayu (sapaan akrabnya). Di mana aparat begitu masih garang, karena Soeharto masih enggan untuk mengalah. 
 
Saat itu aksi mahasiswa di tangani langsung Letjen Prabowo Subianto sebagai pemimpin Satuan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) melalui operasi Tim Mawar (kini Presiden RI). Melalui ajudannya, Prabowo memerintahkan untuk memukul mundur mahasiswa
 
"Lewat pengeras suara, kemudian ada perintah: Kalau dalam hitungan 10 tidak mundur kita akan bertindak. Saat itu gerbang (DPR) sudah terbuka, semua sudah ngumpul. Mereka (aparat) yang tadinya dalam posisi istirahat, mereka mengokang senjata itu, klak-klak (menirukan kokang senjata). Akhirnya kita dipukul mundur dan kita balik," sebutnya. 
 
Cerita tak berakhir di situ. Ia dan sesama aktivis mahasiswa 1998 pun kembali berdiskusi dan mengkaji. Mencari celah dan membangun siasat. Semua harus terukur atas nama demokrasi, satu kata yang terus berdenyut memompa jantung: Reformasi. 
 
Celah untuk dapat berkonsolidasi dengan MPR, diraih Forum Ketua Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) yang saat itu menempel dengan Forum Rektor. Di mana sebelumnya, forum yang berisi 20 kampus ini menginap di DPR-MPR.
 
Baca juga:  Sejarah Hari Reformasi Nasional yang Diperingati Tiap Tanggal 21 Mei

Komunikasi dengan Ketua MPR saat itu, Hamoko pun terbangun. Suasana saat itu jelas sudah semakin menegangkan, di tengah kerusuhan yang terus berjalan, dollar yang terus melonjak, ekonomi memburuk, keretakan di masyarakat serta elitis pun sudah mulai terpecah. 
 
Dalam suasana itu, belum tampak ketegangan akan mereda lewat pertemuan perwakilan mahasiswa dan rektor dengan Hamoko di dalam gedung DPR. Malah saat itu ada informasi akan ada 20 orang mahasiswa yang bertemu Hamoko akan ditembak di dalam gedung. 
 
"Itu kejadiannya 19 (Mei 1998) malam. Posisi mati lampu, saya dapat cerita dari teman saya ketua senat (Wakil Moestopo di FKSMJ), Irwan Sukatma Wijaya, suasana mencekam, mati lampu, DPR-MPR sepi bahkan OB (office boy) pun tidak ada, dan ada info 20 orang mahasiswa yang di dalam ini mau dimatikan. Bahkan informasinya kantong mayat sudah disediakan di Cilangkap," jelasnya.
 
Para Ketua Senat saat itu menjadi target dengan harapan tak ada lagi pergerakan mahasiswa. Tapi para aktivis ini pun bergerak mencoba mengganti orang yang ada di dalam. Bayquni pun termasuk orang yang menggantikan posisi ketua senat di dalam gedung DPR. 
 
Memang, kata dia, sudah ada persiapan penembakan. Karena pada proses penggantian orang di gedung DPR ada sejumlah sepeda motor mahasiswa terkena tembakan dari penembak jitu pengepung DPR. 
 
Tekanan demi tekanan terus dihadapi Bayquni bersama rekan-rekan mahasiswa lainnya. Namun dari tekanan-tekanan itu pula perlawanan semakin membara hingga akhirnya Hamoko meminta Soeharto untuk bisa mundur.
 
"Jadi tanggal 21 itulah kemudian Soeharto memutuskan mundur. Meskipun kita kecolongan karena masuk Habibie sebagai penggantinya karena kan harusnya satu paket. Tapi kita bergerak lagi untuk Pemilu dapat dipercepat hingga akhirnya terpilihlah Gus Dur," sebutnya. 
 
Reformasi 1998: Baru, Sudah, atau Kemana Perginya Peristiwa 27 Tahun Itu?
Suasana demo 1998. Foto: Dok. pribadi

Aktivisme, Yozar Anwar dan Bayquni

Aktivisme adalah puisi yang bicara tentang kebenaran. Yozar Anwar adalah sosok wartawan yang berada dalam perjuangan angkatan 1966. 
 
Sedang Bayquni adalah seorang jujur dan berani. Ia maju lurus dengan prinsipnya tanpa kenal ampun. 
 
Bayquni telah menasbihkan dirinya untuk terus berada di tengah masyarakat. Mengutip Soekarno, ia menyampaikan jika hidup harus menaruh telinga ke Bumi.
 
"Karena di sana kita bisa dengar suara rakyat," terangnya. 
 
Membaca tulisan-tulisan Yozar Anwar telah membuka mata, hati dan telinganya untuk mengerti persoalan dari masyarakat. Bahkan ia saat kuliah di Universitas Prof. Dr. Moestopo masuk ke Media Publika yang merupakan pers mahasiswa Moestopo. 
 
"Di sana (pers mahasiswa) kita membangun jaringan di buruh, di petani, di masyarkat," ungkap pria yang mengidolakan Yozar Anwar ini.
 
Ia mulai berkuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Moestopo pada 1994. Dan di semester 3 atau tahun 1996 ia sudah aktif tergabung dalam aktivisme mahasiswa. Pers mahasiswa menjadi pintu masuknya sebagai aktivis. 
 
Perjalanan panjang telah ia lalui sebagai seorang wartawan kampus dan aktivis sebelum turun pada 1998 saat dia kuliah semester 7. Perlawanan Jampang atau pemberontakan masyarakat Jampang, Sukabumi dan sekitarnya turut disuarakannya kala itu. 
 
Dalam melancarkan agenda-agenda perlawanan, Bayu menuturkan jika angkatannya memiliki cara tersendiri. Kekuatan utamanya ada di pers mahasiswa. 
 
Pers mahasiswa kala itu, kata dia, memiliki kekuatan yang sangat besar. Terlebih saat media arus utama dibredel oleh oleh pemerintah. 
 
"Nah tugas kita adalah menyampaikan informasi yang tidak dimiliki atau tidak ada di masyarakat," tuturnya. 
 
Berita-berita yang ia tulis dicetak mandiri lewat percetakan yang dimiliki kampus. Berita disebar di pasar-pasar, ditempel sehingga masyarakat membaca dan mengerti persoalan yang terjadi saat itu. 
 
Pada akhirnya kata dia, gerakan dari pers mahasiswa inilah yang menarik mahasiswa lainnya untuk turun ke jalan. Hingga terbentuklah forum-forum aktivisme di masyarkat utamanya mahasiswa. 

Aktivisme Setelah 1998

Aktivisme 1998 telah berhasil merontokkan Soeharto. Reformasi diraih, demokrasi didirikan.
 
Bagi Bayu, keberhasilan aktivisme 1998 diraih lewat elaborasi keresahan yang ada di masyarakat oleh para aktivis. Tak ketinggalan peran pers mahasiswa yang terus menyajikan opini dan realita ke masyarakat saat media arus utama tak bisa "leluasa".
 
Kunci keberhasilan gerakan 1998 ini, kata dia, bukan cuma mengonggong di jalan. Tapi secara konstruktif, telah dibangun lewat peran mahasiswa di masyarakat. 
 
Masyarakat tentu tak mau sekonyong senada dengan apa yang dilakukan para mahasiswa. Kepercayaan, menjadi kunci, mengapa pergerakan mahasiswa dan masyarakat menjadi sedendang sepergendangan. 
 
Bayu menjelaskan, saat mahasiswa mau turun ke masyarakat, dekat dengan masyarakat dan memperjuangkan masyarakat di desa adalah jalan membentuk kepercayaan masyarakat kepada mahasiswa. Dengan begitu, masyarakat akan kenal mahasiswa. 
 
Mahasiswa kini. kata dia, seringkali bersuara di atas menara, menentang dan melawan isu nasional, isu yang memang timbul karena kelakukan elitis. Tapi lupa membawa isu yang ada di masyarakat. 
 
"Padahal ketika memperjuangkan isu yang ada di bawah, di situlah kepercayaan masyarakat kepada mahasiswa diraih, di situ masyarkat menyatu," ungkapnya. 
 
Ia pun mengenang masa-masa ia dan rekannya di tahun 1996 ke pasar jam 2 pagi bertemu pedagang. Sekadar mengobrol dan melihat masalah masyarakat lebih dekat. 
 
Saat itu, semangat yang muncul adalah bagaimana masalah ini bisa dibawa ke pemerintah, agar mampu diselesaikan. "Dikawal terus walau memang melelahkan, tapi di sini titik pentingnya," sebut dia. 
 
Reformasi 1998: Baru, Sudah, atau Kemana Perginya Peristiwa 27 Tahun Itu?
Aktivis 1998, Bayquni. Foto: Dok. pribadi

Masih Dalam Turbulensi 1998

27 tahun telah berlalu sejak 1998, tapi goncangan hebat terhadap cita-cita demokrasi masih terjadi. Bayu menjelaskan hingga saat ini masih ada kemarahan besar terhadap konsep demokrasi yang sudah tertanam pada Undang-Undang Dasar. 
 
Meski tak sama persis dengan 1998, saat ini ia melihat turbulensi terjadi pada alat hukum. Undang-undang, kepolisian, kejaksaan dan kehakiman. 
 
Saat ini elitis memegang undang-undang, elit mengendalikan kepolisaan, memegang kehakiman. Namun banyak mahasiswa menurutnya tidak tahu kondisi yang sebenarnya terjadi. 
 
Belum lagi elitis, kata dia, begitu lihai dalam menyuapi masyarakat lewat kesenangan semu di media sosial. Sehingga banyak masyarakat terjebak dalam pemikiran jika negara dalam keadaan baik-baik saja. 
 
"Sebenarnya, ruang ini harus dimasukin mahasiswa. Mahasiswa harus turun ke bawah membangun kesadaran politik, bantu petani," jelasnya. 

Perjuangan Mahasiswa Selanjutnya: Melawan Disrupsi Informasi

Mahasiswa akan terus memiliki peran dan harus terus berperan dalam menjaga semangat reformasi untuk demokrasi. Teknologi kini menjadi kunci. 
 
Bayu yang juga Doktor Ilmu Komunikasi dan Ilmu Pemerintahan itu mengatakan saat ini, merupakan era disrupsi informasi. Di mana informasi begitu banjir di tengah masyarakat. 
 
Pada konsisi itu kata dia, terjadi era post-trust. Yang artinya dibutuhkan pembangunan terhadap kepercayaan di masyarakat, dan mahasiswa harus mengambil peran tersebut. 
 
Ia pun menyenggol kebijakan Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (Mendiktisaintek), Brian Yuliarto yakni Kampus Berdampak. Menurutnya, apa yang digagas Brian adalah ide yang bisa menghidupkan kepercayaan masyarakat terhadap mahasiswa. 
 
"Sepertinya menteri ini paham bahwa anak kampus itu tidak memiliki dampak, makanya ada Kampus Berdampak. Artinya gerakan mahasiswa itu harus memiliki trust. Karena percuma gerakan mahasiswa turun kalau tidak dipercaya sama masyarakatnya," ungkapnya. 
 
Mahasiswa harus menjadi panutan, pembimbing dan pendamping bagi masyarakat. Bahkan 1998, kata dia, buruh dan petani diajarkan berdemonstrasi oleh mahasiswa. 
 
"Itu artinya ada trust terhadap mahasiswa. Tapi sekarang sepertinya tidak. Mahasiswa cenderung dilihat sebagai kelompok elit ya maaf kata. Kampus dianggap menara gading," ungkapnya. 
 
Dosen yang kini mengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Esa Unggul itu pun berharap mahasiswa bisa menjadi menara air. Di mana mahasiswa layaknya pancuran air yang mengaliri masyarakat di bawah dan menjadi manfaat. 
 
Selain berharap mahasiswa bisa lebih dekat dengan masyarakat, memperjuangkan masyarakat serta isu yang ada di masyarakat, mahasiswa kata dia harus mengingatkan masyarakat tentang penggiringan opini di media sosial. Termasuk adanya pola pengendalian media arus utama oleh penguasa. 
 
"Karena kalau dulu polanya pembungkaman lewat rasa takut, kalau sekarang polanya pembungkaman lewat rasa senang. Artinya bahwa ada krisis ekonomi tapi selalu dibalas dengan lo bisa jajan, lo bisa ngopi, beli mobil dan sebagainya, dan itu yang menjebak kita sekarang," tutur dia. 

Harta Terakhir Kaum Muda Adalah Idealisme

Harta terakhir kaum muda adalah idealisme adalah ungkapan populer dari tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, Tan Malaka. Bay mengutip ungkapan tersebut untuk terus menguatkan mahasiswa kini dan generasi ke depan. Bahwa majunya negara ada pada idealisme kaum muda.
 
Ia pun kembali mengutip aktivis angkatan 1966, Soe Hok Gie untuk menguatkan anak muda Indonesia. "Lebih baik diasingkan daripada hidup dalam kemunafikan," sebut dia. 
 
Menurutnya, agar keluar dari jebakan 1998, mahasiswa harus dipercaya masyarakat. Caranya, sudah ia jelaskan mulai dari benar-benar turun mendengar persoalan rakyat kecil hingga aktif dalam menyuarakan pendapat secara masif, bukan hanya isu nasional atau isu yang digiring elitis. Tapi benar-benar isu yang ada di masyarakat untuk mendapatkan kepercayaan untuk berjuang bersama.
 
"Kita harus bisa merasakan bagaimana masyarakat yang tidak mapan. Masyarakat yang tidak mapan itu tidak pernah bekerja seperti orang kantoran, mereka bekerja di malam hari, mulai dini hari, bahkan tidak pernah tidur. Bayangkan itu. Orang seperti itulah yang tidak pernah tidur sebenarnya. Dan banyak orang seperti itu saat ini terjebak dalam masalah dan tidak bisa tidur. Tidur hanya untuk orang mapan dan masyarakat kita masih banyak masalah sehingga tidur pun menjadi kemewahan yang tidak bisa diraih," tutup Bayu.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan