Peneliti ICW Siti Juliantari mengatakan, jumlah laporan jual beli bangku sekolah dan pungli tahun ini hampir sama dengan tahun kemarin. "Aktornya masih sama saja," kata peneliti yang akrab disapa Tari ini kepada Medcom.id di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis, 19 Juli 2018.
Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Pendidikan (KMSPP) melaporkan, tawaran jual beli kursi terjadi sebelum dan sesudah proses PPDB yang ditutup pada Jumat, 13 Juli 2018. Salah satunya terjadi di SDN Ibu Jenab I Cianjur. Di sana ada guru yang memungut sejumlah uang kepada orangtua dengan iming-iming anak mereka bisa masuk SMP tujuan.
"Kasus serupa juga terjadi di SMPN 10 Batam," Tari menambahkan.
Baca: Ombudsman: Permendikbud Mepet, Daerah Kelabakan
Tari mengungkapkan, paling tidak satu kursi dijual seharga Rp5 juta-Rp15 juta. "Kalau di sekolah favorit bisa lebih dari itu. ini terus berulang setiap tahun, apakah pemerintah tidak belajar dari pengalaman," sesal Tari.
Tidak hanya jual beli kursi, potensi terjadinya korupsi di institusi pendidikan juga muncul melalui pungutan liar dalam PPDB. Pungutan liar yang terjadi memang tidak terang-terangan meminta uang, namun menjelma dalam bentuk uang seragam, uang buku, LKS (Lembar Kerja Siswa), dan biaya perbaikan maupun peningkatan fasilitas sekolah yang dikenakan secara wajib terhadap siswa.
Padahal berdasarkan Permendikbud nomor 14 tahun 2018 tentang PPDB pasal 25 secara tegas menyebutkan, bahwa sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah maupun masyarakat yang menerima Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dilarang melakukan pungutan atau sumbangan apapun saat PPDB.
"Dalam Permendikbud nomor 44 tahun 2012 disebutkan, sumbangan memang diperbolehkan selama tidak ditentukan besarnya dan tidak terikat waktu. Tapi dari laporang yang diterima, besaran sumbangan ditetapkan dan waktu membayarnya juga ditentukan. Ini jelas pungutan," tegas Tari.
Tari juga menyebutkan, dalam Permendikbud nomor 75 tahun 2016 juga melarang sekolah menyediakan atau menjual peralatan sekolah seperti seragam, buku apalagi LKS. Aturan ini diterbitkan untuk mencegah terjadinya korupsi dan kolusi saat penjualan buku dan seragam dilakukan.
"Biasanya distributor atau penerbit memberikan fee yang cukup besar kepada guru yang membantu menjualkan buku keluaran mereka, di situ potensi kolusi terjadi," tegasnya.
Seharusnya, kata Tari, guru hanya boleh merekomendasian buku-buku tertentu yang dianggap memiliki materi pembelajaran yang bagus untuk diajarkan kepada siswa. "Tapi sebatas merekomendasikan, siswa silakan membeli atau mendapatkan sendiri di luar sekolah. Intinya sekolah tidak boleh menghimpun uang untuk membeli buku dan seragam dari siswa," terang Tari.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Muhadjir Effendy meminta pihak yang benar-benar memiliki bukti otentik, termasuk nama sekolah agar melaporkan langsung pada dirinya. "Kalau ada bukti otentik, kasihkan ke saya. Pasti akan saya tindak lanjuti, tapi jangan (hanya) katanya," tantang Muhadjir.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id