Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PRAK) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menggelar diskusi membahas Filantropi Ahmadiyah dan Syiah. Najib berharap kegiatan ini dapat mengungkap kekuatan dan potensi filantropi dari kedua komunitas tersebut.
Dilansir dari laman brin.go.id, Naib Amir Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Achmad Supardi, menyampaikan gambaran kekhidmatan dalam filantropi, baik tingkat nasional maupun internasional. Ia menegaskan Ahmadiyah bukan gerakan politik dan sama sekali tidak memiliki tujuan politik.
Dia menuturkan jemaat Ahmadiyah menyokong kebangkitan Islam dalam bidang kerohanian yang menekankan pentingnya hidup damai, menegakkan keadilan, mengupayakan kesucian dalam keseharian, serta cinta kasih kepada sesama. Hal ini sesuai dengan motto yang diusung jemaatnya yang dikenal, yakni Love for All, Hatred for None yang artinya Cinta kepada semua orang dan kebencian tidak untuk siapa pun.
Achmad juga menjelaskan tentang filantropi jemaat Ahmadiyah secara miniatur. Ia menggambarkan di miniatur tersebut sebagai organisasi kerohanian dalam agama Islam yang menjabarkan tentang roh pengorbanan, baik harta, waktu, maupun jiwa.
Dalam konsepnya, Ahmadiyah ikrak janji. Landasan filantropi Ahmadiyah tentang infak harta, yakni perintah Al-Qur'an, lalu Rasulullah saw., dan kemudian seruan pendiri jemaat Ahmadiyah.
Ia juga mengungkapkan tentang mekanisme pengelolaan jemaat Ahmadiyah di setiap negara yang mempunyai kewenangan otoritas. Ini terdiri atas amir nasional, naib amir mal, sekretaris mal pengurus besar, amin/bendahara, muhasib pengurus besar, komite keuangan, auditor internal, auditor eksternal, juga yang lainnya sesuai dengan jenis-jenis pendistribusian yang ditetapkan melalui mekanisme musyawarah nasional (majelis syura nasional).
Adapun jenis-jenis pendistribusian antara lain bidang kesehatan, pendidikan, dan sosial, baik nasional maupun internasional, juga lembaga sosial kemanusiaan (humanity first), bidang dakwah, dan bidang lingkungan.
Dia menyebut dalam situs chandah.go.id terdapat mekanisme yang diberlakukan struktur organisasi khusus, dengan kontrol mengenai petanggungjawaban yang berlaku bagi anggota yang sudah mempunyai ID.
Lalu, untuk melakukan riset basis Ahmadiyah, dapat berkoordinasi dengan wilayah di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Saat ini, ada 420 cabang yang tersebar di Indonesia.
Sementara itu, Direktur Yayasan Dana Mustad’afin, Husain Shahab, menyampaikan Yayasan Dana Mustad’afin bukan bagian dari organisasi masyarakat (ormas) Ahlubait Indonesia. Bahkan, lahirnya yayasan ini lebih awal dari lahirnya ormas Ahlubait Indonesia.
Ia mengatakan yayasan ini dibangun oleh beberapa relawan yang bermazhab syiah. Namun, visinya ikut program pemerintah Indonesia menyejahterakan dan mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia, terutama kualitas ekonomi dan pendidikan.
“Yayasan ini didirikan semata-mata agar bagaimana menjadi jembatan antara muzaki untuk kalangan duafa yang ada di Indonesia,” ungkap Husain dikutip dari laman brin.go.id, Jumat, 14 Juni 2024.
Ia juga menjelaskan yayasan tersebut bergerak untuk umum tidak memandang latar belakang dan tidak ada sekatan agama. Yayasan ini memiliki dua legalitas, yaitu legalitas hukum nasional ke Kementerian Kehakiman serta legalitas dari Marja Syiah.
Konsep filantropinya menggunakan konsep filantropi zakat dan khums. Artinya, seperlima atau 20 persen dalam terminologi hukum Islam, yakni barang-barang tertentu yang diperoleh seseorang sebagai kekayaan harus dibayarkan.
Sumber dana dibagi dua. Pertama, syariah wakaf, hibah, zakat, dan sedekah. Kedua, dana sosial adalah dana dari sumbangan BUMN, lembaga negara, serta donatur.
Husain Shahab mengatakan Yayasan Dana Mustad’afin tidak mewakili 100%. Tidak semua khumus syiah dimasukkan dalam yayasan ini.
Hal itu karena perlu dua legalitas Indonesia maupun legalitas syariat, sebab wakalah Dana ini bukan hanya dipegang oleh dana mustad’afin. “Dan setiap negara ada wakalah marja untuk mengelola kepentingan syiah,” tutur dia.
Periset Pusat Riset Masyarakat dan Budaya (PRMB) BRIN, Prabowo Setyabudi, menuturkan filantropi ini mulai berkembang, namun belum familier di kalangan masyarakat. Harapannya, filantropi ini dapat dirasakan oleh masyarakat untuk jangka panjang.
Sementara akhir dari proses filantropi dapat dikembangkan. Bukan hanya membantu sosial, namun juga bisa filantropi kreatif dan inovasi serta terbuka sehingga dapat dirasakan masyarakat luas.
Periset Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PRAK) BRIN, Fatimah Zuhrah, mengungkapkan hasil risetnya terkait dengan filantropi syiah. Riset ini fokus pada lembaga filantropi kebencanaan.
Aksi filantropi yang dilakukan komunitas syiah menyeluruh pada semua umat tanpa memandang perbedaan agama, ras, dan suku. “Mereka melakukan aksi filantropi dengan modal ikhlas beramal dengan tepat guna dan sasaran, serta prinsip membantu yang membutuhkan dan prinsip kemanusiaan,” papar dia.
Sementara itu, periset PRAK lainnya, Siti Ateqoh, menyampaikan riset dengan visi sebagai penggerak dalam kemandirian yang dibingkai dalam ajaran Islam. Misinya adalah mengembangkan model-model pemberdayaan masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan, sedangkan sumber dananya diperoleh dari khumus, zakat, infak, dan sedekah. Dengan demikian, hasil penelitiannya sesuai dengan pembicara Husain Shahab.
Kepala Pusat Riset Agama dan Kepercayaan BRIN, Aji Sofanudin, senang periset sudah mempunyai data filantropi berbagai ormas. Sebutan atau istilah di dalam filantropi cukup beragam, seperti ziswaf, chandah, khumus, dan sebagainya.
Baca juga: Tata Cara, Keutamaan, dan Niat Puasa Arafah |
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News