Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti meminta pihak kepolisian untuk segera mengusut tuntas kasus ini. KPAI dalam hal ini juga mendorong penyelesaian kasus kekerasan yang dilakukan oleh pelajar tersebut menggunakan ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) untuk anak pelaku.
"KPAI prihatin atas peristiwa kekerasan antarsesama anak yang terjadi di Pontianak, di mana korban (sendirian) yang merupakan pelajar SMP dikeroyok oleh 12 siswi SMA, karena masalah asmara," kata Retno di Jakarta, Selasa, 9 April 2019.
Baca: Korban Kekerasan Seksual Minim Perlindungan
Tak hanya itu, KPAI juga akan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Pontianak untuk pemenuham hak rehabilitas kesehatan korban. Termasuk pengawasan ke pihak rumah sakit tempat korban dirawat.
Sedangkan untuk layanan psikologis anak, KPAI akan berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) Pontianak. Anak korban dan anak pelaku akan diberikan layanan psikologis.
"P2TP2A biasanya memiliki psikolog untuk melakukan asesmen psikologis dan rehabilitasi psikologis agar para remaja tersebut tidak mengulangi perbuatannya. Anak-anak ini harus dibantu memahami konsep diri yang positif dan memiliki tujuan hidupnya, di sini peran orangtua sangat penting untuk pola asuh positif di keluarga," ujar Retno.
Pihak kepolisian juga diminta untuk tidak memberikan identitas anak pelaku dan anak korban kekerasan. Sebab pemberitaan anak haruslah melindungi identitas anak sebagaimana ketentuan dalam pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA.
Sebuah cuitan yang diunggah akun @zianafazura di media sosial Twitter virak dan mengejutkan dunia maya. Cuitan itu menyebutkan bahwa seorang siswi menjadi korban pengeroyokan 12 siswi SMA, hingga mengakibatkan luka serius di daerah kewanitaan korban.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News