Ilustrasi: Medcom
Ilustrasi: Medcom

Fenomena Toxic Positivity di Lingkungan Kerja, Begini Cara Mengatasinya

Citra Larasati • 30 Maret 2025 09:00
Jakarta: Toxic Positivity atau paksaan harus berpikir positif terlepas dari rasa sakit emosional atau situasi sulit yang sedang terjadi, adalah hal yang kerap terjadi di organisasi tanpa disadari. Hal ini tidak dapat dianggap biasa karena akan berdampak pada masalah yang besar.
 
Toxic Positivity di organisasi terjadi ketika organisasi memprioritaskan suasana positif dengan menghiraukan komunikasi yang jujur dari suatu masalah. Dikutip dari Forbes, Toxic Positivity  akan berdampak pada kehilangan kemampuan mengatasi masalah yang ada, mengidentifikasi pergeseran pasar dan meningkatkan kemampuan penuh tim mereka.
 
Setelah pengamatannya pada eksekutif di berbagai industri, organisasi yang paling sukses bukanlah yang memiliki masalah paling sedikit, tetapi organisasi yang masalahnya dapat diidentifikasi dan diatasi dengan baik sebelum menjadi krisis.

Kebisuan organisasi memiliki berbagai bentuk toxic positivity adalah pendekatan sistematis terhadap budaya tempat kerja yang memprioritaskan mempertahankan situasi positif daripada mengatasi kenyataan yang sulit. Lingkungan yang seperti itu menciptakan lingkungan di mana karyawan merasa mereka harus selalu menunjukkan kebahagiaan dan antusiasme meskipun berada di situasi tantangan yang serius. 
 
Norma budaya ini sering terjadi pada lingkungan yang berada dalam kepemimpinan senior. Para pemimpin sering mengungkapkan rasa frustasi mereka terhadap karyawan yang “hanya mengeluh” atau “tidak memiliki solusi.”
 
Dari pandangan tersebut pemimpin tidak sadar telah menutup percakapan yang kritis.  Ketika anggota staf harus mengemas setiap masalah dengan solusi yang rapi atau berpendapat akan dicap “negatif”, banyak yang memilih untuk diam.
 
Dalam lingkungan seperti ini, masalah yang dapat diatasi cenderung membusuk dan bahkan dapat menyebabkan kegagalan sistemik.  Dinamika ini terjadi secara berbeda di berbagai organisasi tetapi memiliki pola yang seragam.
 
Dalam institusi budaya, toxic positivity sering kali berwujud harmoni yang dipaksakan. Museum dan organisasi serupa, terlepas dari citra publik yang progresif, sering kali beroperasi di bawah struktur hirarkis tradisional dengan protokol manajemen koleksi yang kaku, seringkali masalah dan keresahan tertutupi citra publik yang baik hingga tidak tertangani. 
 
Terkadang masalah sudah terlambat untuk ditangani, menyebabkan krisis seperti karyawan yang mengorganisir dan secara terbuka mengecam atasan mereka di platform media sosial. Hal yang dapat dipelajari adalah, menciptakan perubahan budaya yang tulus membutuhkan ruang untuk kebenaran yang tidak nyaman sebelum meledak ke hadapan publik.
 
Bentuk toxic positivity yang lain adalah sarana feedback yang rumit dan terlalu dipoles dengan ilusi sebuah komunikasi terbuka padahal sebenarnya hanya untuk mempertahankan status quo organisasinya. Sebuah perusahaan mungkin bangga dengan “budaya umpan balik yang komprehensif”, namun secara tidak sengaja menghambat umpan balik yang berarti. Para manajer mungkin diinstruksikan untuk “membingkai ulang umpan balik negatif” sebelum meneruskannya ke atasan.
 
Ketika hal ini terjadi, masalah yang sebenarnya hanya menjadi percakapan pribadi yang tidak pernah sampai kepada para pengambil keputusan, yang kekurangan informasi yang dapat ditindaklanjuti.

Bertanggungjawab atau menjadi Akuntabel

Mengubah budaya yang toxic memerlukan upaya terencana dan keberanian kepemimpinan. Berikut caranya mengatasinya:

1. Ciptakan struktur umpan balik dengan tetap mempertahankan otoritas keputusan.

Mendorong komunikasi yang jujur tidak berarti pemimpin harus menanggapi setiap masalah yang diajukan. Pemimpin yang baik membuat perbedaan yang jelas antara mendengar masukan dan berkomitmen untuk bertindak.
 
Manfaatnya dapat menciptakan saluran di mana kekhawatiran dapat disuarakan dengan tetap menjaga batasan yang jelas tentang siapa yang membuat keputusan akhir.

2. Pisahkan informasi dari emosi. 

Setiap masalah yang muncul layak mendapatkan perhatian atau sumber daya yang sama, tetapi pemimpin tetap harus memprioritaskan berdasarkan kepentingan strategis. Sehingga persoalan dapat diselesaikan secara konstruktif dan tidak memicu respon emosional yang tidak perlu.

3. Menyelaraskan pengakuan dengan keterlibatan yang konstruktif.

Secara eksplisit mengakui dan menghargai contoh-contoh perbedaan pendapat konstruktif yang menghasilkan hasil yang lebih baik-terutama ketika karyawan menyampaikan masalah dengan cara-cara yang mengakui realitas dan kendala bisnis. Bagikan cerita dan apresiasi bagaimana umpan balik yang jujur dapat mencegah terjadinya masalah.

4. Mencontohkan kepemimpinan yang seimbang

Tunjukkan kepada karyawan bahwa tidak masalah untuk tidak setuju atau melakukan kesalahan dengan terbuka dari kerentanan anda sendiri, sekaligus menunjukkan kepemimpinan yang tegas. Ketika Anda melakukan kesalahan atau tidak mengetahui sesuatu, akui saja secara terbuka. Namun, jelaskan juga dengan percaya diri alasan Anda ketika Anda memutuskan untuk tidak menindaklanjuti umpan balik yang diterima.
Baca juga:  Drama di Kantor Bisa Turunkan Produktivitas, Begini Cara Terbaik Mengendalikannya

5. Keunggulan Kompetitif dari Kejujuran

Ketika organisasi menghadapi peningkatan kompleksitas dan tekanan persaingan, mendengar dan menanggapi realitas tanpa filter menjadi keunggulan strategis yang penting. Perusahaan yang menciptakan lingkungan yang benar-benar aman untuk komunikasi yang jujur akan mengidentifikasi peluang dan ancaman dengan lebih cepat, berinovasi dengan lebih efektif, dan membangun budaya yang lebih kuat dan tangguh.
 
Paradoks dari kesehatan organisasi adalah bahwa budaya yang benar-benar positif tidak muncul dari mandat untuk bersikap positif, tetapi dari menciptakan rasa aman terhadap kebenaran, bahkan ketika kebenaran tersebut untuk sementara tidak nyaman. Organisasi harus dapat menciptakan lingkungan dimana masalah dapat diidentifikasi dengan aman dan diatasi secara selektif, bukan dari menutupi dan bersikap tidak terjadi apa-apa. (Alfi Loya Zirga)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan