Sejak kecil, Boy menghadapi tantangan besar. Ayahnya meninggal ketika ia duduk di kelas 3 SD, membuat keluarganya harus berjuang keras secara finansial. Ia, bersama ibunya dan dua kakaknya bahkan sempat tinggal di kamar kos kecil di pinggir pasar.
"Aku ga ada privilige apa-apa. Papaku meninggal di saat aku 3 SD. Papaku meninggal karena ditipu rekan bisnisnya hingga sakit dan meninggal. Semenjak itu aku, mamaku harus menjual segala aset untuk membayar segala utang dan bertahan hidup," kata Boy.
Meski hidup dalam keterbatasan, ibunya selalu berpesan, "Jangan pernah berhenti belajar selama itu pendidikan, pasti ada jalan."
Di tengah kondisi finansial yang tidak baik-baik saja, turut mewarnai liku perjalanan pendidikan Boy saat di SMK. Boy sempat mengalami kesulitan membayar biaya sekolah hingga ibunya dipanggil oleh pihak sekolah pada 2011.
"Aku takut banget dikeluarin (oleh sekolah)," ujar Boy.
Baca juga: Panutan! Hammam Arfianda, Siswa MAN IC Serpong Tembus 13 Kampus Top Dunia |
Namun, kebijakan Kartu Jakarta Pintar (KJP) yang digagas di bawah pemerintahan Gubernur Jokowi dan Ahok pada 2012 memberikan harapan baru. Dengan bantuan ini, Boy bisa melanjutkan pendidikan tanpa hambatan finansial yang terlalu berat.
SMK tempat Boy menempuh pendidikan memiliki program belajar selama empat tahun, sehingga ia baru lulus pada 2015. Setelah lulus, ia sempat menunda kuliah demi merawat ibunya yang menderita kanker.
Sayangnya, di tahun yang sama, sang ibunda meninggal dunia. Meski kehilangan sosok yang sangat berarti, Boy tidak menyerah pada mimpinya.
Tahun 2016 menjadi awal perjalanan barunya di dunia pendidikan tinggi. Ia diterima melalui Seleksi Mandiri di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada program studi Bahasa Jerman.
Walaupun ia mengakui jurusan ini bukan lah pilihannya sejak awal, namun Boy menemukan semangat dan potensi besar dalam dirinya. Selama masa kuliah, ia tidak hanya menimba ilmu, tetapi juga meraih berbagai pencapaian, termasuk menjadi Mahasiswa Berprestasi pada 2019 dan menerima beasiswa Summer University.
Hingga tiba pandemi COVID-19 pada 2020, yang ternyata juga tidak menghentikan langkah Boy untuk menuntaskan kuliahnya. Bahkan ia lulus sebagai lulusan terbaik di program studinya.
Melihat peluang di tengah krisis, Boy memanfaatkan keahliannya dengan membuka kelas Bahasa Indonesia untuk penutur Jerman secara daring. Ternyata, inisiatif ini membuahkan hasil yang cukup signifikan. Di akhir 2020, Boy lolos seleksi sebagai pengajar Bahasa Indonesia untuk luar negeri yang diselenggarakan oleh Kemdikbud (sekarang Kemendikdasmen).
Tahun 2021 membawa Boy ke tingkat yang lebih tinggi. Ia ditugaskan mengajar Bahasa Indonesia secara daring di KBRI Kopenhagen.
Pada tahun yang sama, ia berhasil meraih beasiswa S2 ke Jerman dan melanjutkan pendidikan magisternya di Georg August Universitat Gottingen melalui Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan.
Tidak hanya itu, Boy juga mendapatkan beasiswa bergengsi lainnya. Ia meraih beasiswa Erasmus untuk magang sebagai asisten dosen Kebudayaan Indonesia dan beasiswa DAAD (Dinas Pertukaran Akademik Jerman) untuk mengikuti Sekolah Musim Panas bertajuk "Multilingualism and Beyond in the European Context" di University of Tartu, Estonia.
Dalam program ini, ia mempresentasikan proyek penelitiannya berjudul "Investigating Language Repertoires and Language Use Patterns in The Jakarta Metropolitan Area", yang mendapat respons positif dari peserta dan dosen.
Saat ini, Boy Tri Rizky tengah mengerjakan proyek riset Bahasa Indonesia di Jerman sekaligus berkontribusi sebagai pengajar di sana. Perjalanan hidupnya membuktikan bahwa pendidikan adalah kunci untuk mengatasi keterbatasan dan mengubah masa depan. Semoga kisahnya menginspirasi banyak orang untuk terus berusaha dan tidak pernah berhenti belajar. (Antariska)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News