Kepala Sekolah SDN 20 Salomenraleng, kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Foto: Koleksi Pribadi
Kepala Sekolah SDN 20 Salomenraleng, kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Foto: Koleksi Pribadi

Merdeka Belajar Kampus Merdeka

Layar Merdeka Belajar Telah Terkembang, Asa Guru Perahu Kian Membentang

Ilham Pratama Putra • 16 April 2023 12:24
Jakarta:  Sajadah panjang dilipat usai salat subuh. Gelap dan dingin masih menyelimuti desa Salomenraleng, kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. 
 
Namun lelap, tak boleh berlanjut bagi para guru di SD Negeri 20.  Terutama bagi Syahrir, Kepala Sekolah Dasar Negeri yang berada di tengah danau Tempe itu.
 
Bagi Syahrir, kata-kata bijak Buya Hamka menjadi pegangannya: "Anak lelaki tak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah buat berjuang. Kalau perahunya telah dikayuh ke tengah, dia tidak boleh surut palang. Meskipun besar gelombang- biarkan kemudi patah, biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada membalik haluan pulang,".

Pagi buta itu, Syahrir menagih janji para guru. Giliran siapa yang akan berlayar, mengantar keceriaan sembari menabur ilmu di kepala mungil anak didiknya di hari itu.
 
"Ini panggilan jiwa kami, sebagai kepala sekolah dan guru untuk memberikan pelayanan maksimal," kata Syahrir kepada Medcom.id, Sabtu 8 April 2023.
 
Syahrir bersama sembilan guru di sekolah tersebut mengemban tugas tak biasa.  Yakni mengajar anak didik yang bersekolah di atas bangunan panggung itu.
 
Sekolah itu memang dirancang khusus berbentuk panggung, agar tetap kokoh ketika memasuki musim hujan hebat.  Sebab saat musim itu datang, akses ke sekolah itu biasanya akan tertutup air.
 
Tak tanggung-tanggung, air bisa naik selama enam bulan lamanya.  Alhasil, air yang tingginya bisa mencapai dua meter itu dapat menjadi penghambat akses siswa ke sekolah.

Gunakan Perahu


Pada masa air naik itulah, sejumlah masalah pun bermunculan. "Karena terendam begitu, maka anak-anak ke sekolah menggunakan perahu. Kadang menggunakan perahu orang tua, kadang perahu tetangga mereka, kadang juga perahu sekolah yang datang menjemput," kata Syahrir.
 
Namun perahu-perahu itu kadang kala memang tak jua dapat berlabuh di sekolah. Tumbuhan eceng gondok yang  mengapung di atas air pun jadi penghalang lambung perahu untuk merapat ke sekolah.
 
Berputar sedemikian rupa pun seolah sia-sia.  Kendala menjadi berlipat ganda. Akibatnya, perahu-perahu siswa lebih sering terikat di pasar terapung atau mengapung menanti ikan bagi orang tua siswa yang kebanyakan berprofesi sebagai nelayan ini.
 
"Oh ini enggak bisa. Ini harus diantisipasi. Meski banyak yang bilang, ini sudah kejadian bertahun-tahun. Tapi saya tetap enggak bisa terima dengan kondisi ini. Harus ada action," terang Syahrir.
 
Kemudian ia bertanya kepada para guru. "Sekolah punya perahu kan? ya sudah siapkan perahu, data siswa yang terdekat rumahnya," lanjutnya.
 
Para guru pun bertanya-tanya, apa kiranya yang akan dilakukan pria penggemar film Iron Man tersebut. Dalam benak guru, kata Syahrir, tak pernah terbayangkan sebelumnya jika mereka akan diminta untuk berlayar ke rumah siswa. Membentang 'layar' agar siswa dapat belajar.
 
"Jadi saya bilang, siapkan saja bukunya. Loh ditanya kita mau ke sana ya pak? Ya siapkan. Kemudian materi hari ini apa? Siklus hujan. Ambilin alat peraganya. Kelas satu apa? Jenis-jenis ikan. Saya siapkan semua di perahu. Kemudian kami ke sana," terang Syahrir.
 
Alur proses belajar mengajar kala itu berubah nyaris 180 derajat dari musim kemarau. Di musim penghujan, Syahrir terpaksa membangun sistem 'guru kunjung'.

Guru Kunjung


Teknisnya, ia mengirimkan pesan melalui aplikasi Whatsapp, perintah tugas datang setelah salat magrib kepada guru. Isinya permintaan agar guru mendata siswa yang terkendala ke sekolah esok hari.
 
Esok subuh, setelah salat subuh para guru mesti melaporkan data siswa yang tidak bisa datang dan materi pelajaran apa yang harus diterima siswa pada hari itu.  "Ke grup siswa itu diarahkan, siapa yang tidak bisa ke sekolah untuk kumpul di titik A, B, C dan D. Kemudian saya berangkat, menggunakan perahu di sekolah bersama guru yang piket," tuturnya.
 
Layar Merdeka Belajar Telah Terkembang, Asa Guru Perahu Kian Membentang
Suasana di sekolah saat air naik dan menghambat akses menuju SDN 20. Foto: Dok. Pribadi
 
Satu-satunya perahu itu menjadi tumpuan untuk mengangkut berbagai perlengkapan mengajar dari sekolah.  Mulai dari laptop, alat peraga hingga buku-buku pelajaran.
 
Perahu tentu sesak. Sebab di satu titik pengajaran yang dikunjungi, kata Syahrir, bisa saja terdapat siswa dari tiga jenjang kelas berbeda yang berkumpul. 
 
"Itu yang menantang kami, menghadapi tiga jenjang sekaligus di satu titik kumpul misalnya, kami ajar bersamaan. Didudukin, dijelasin materinya," kata pria pehobi burung kicau ini.
 
Setidaknya di satu titik, ada lima hingga 10 siswa dari berbagai jenjang kelas. Di satu titik, Syahrir bisa bertahan 15 sampai 20 menit untuk memberikan pelajaran.
 
Ketika selesai dari titik pertama untuk 20 menit pengajaran, Ia kembali mengayuh perahu untuk berpindah menuju titik kumpul ke dua, ke tiga dan keempat.  Setelah proses mengajar selesai, ia kembali lagi untuk menagih hasil belajar siswa.
 
Ia kembali ke titik tiga, dua dan satu lagi, mengumpulkan produk belajar untuk dievaluasi.  "Kita bisa analisa dan evaluasi apa keberhasilannya, apa yang mau diperbaiki, apa yang bisa ditambah," jelas pria 52 tahun itu.

Merdeka Belajar


Perahu sederhana di danau Tempe itu memiliki semangat melayani siswa dalam setiap kayuhnya.  Dengan kayuh itu pula, perahu membelah danau yang dingin demi menghadirkan kemerdekaan belajar bagi anak-anak di desa Wajo.
 
Ternyata dalam setiap kayuhnya tersebut, Syahrir tidak hanya membawa alat-alat belajar, namun juga muatan lain, berupa Merdeka Belajar, utamanya episode ke-15 Kurikulum Merdeka.  Sebuah gagasan yang memahat nyawa dan makna pembelajaran yang sebenarnya.  Syahrir menyebut, ada Merdeka Belajar di antara kayuh para guru.
 
Tanpa Kurikulum Merdeka, mungkin kayuh-kayuh para guru di SDN 20 hanyalah tongkat yang terbuat dari agar-agar.  Menurut Syahrir, kokohnya kayuh perahu justru berasal dari keberadaan Kurikulum Merdeka di sekolah mereka sejak 2022.
 
Kurikulum Merdeka muncul pada masa pandemi covid-19. Di mana krisis pembelajaran mulai menerpa dunia pendidikan dengan hantu bernama learning loss, hingga terjadi kesenjangan pembelajaran di sejumlah wilayah di Tanah Air.
 
Efektivitas Kurikulum Merdeka pun teruji, bahkan aplikatif diterapkan pada kondisi yang dihadapi SDN 20.  Dengan segala keterbatasan yang dihadapi sekolah, kurikulum ini tentu cocok bagi SDN 20. 
 
Kurikulum ini membuat SDN 20 tak ragu lagi bergerak fleksibel, fokus pada materi yang esensial.  Bahkan terbukti telah memberikan keleluasan bagi guru dalam menggunakan berbagai perangkat ajar sesuai kebutuhan dan karakteristik peserta didik.
 
Syahrir kala itu, menyambut dan langsung menyerap Kurikulum Merdeka guna memberikan layanan terbaik bagi siswanya yang memang perlu penanganan khusus.  Ia lalu mendaftarkan SDN 20 untuk Implementasi Kurikulum Merdeka pada 2022.
 
"Awalnya kami implementasi itu menjalankan Mandiri belajar, dan tahun 2023 sekolah kami sudah naik level Mandiri Berubah untuk implementasi Kurikulum Merdeka," jelasnya.
 
Model pembelajaran terus dimantapkan. Ia menyicil inovasi-inovasi baru untuk para peserta didik.
 
"Saya arahkan anak didik dengan dua aspek terpenting. yakni memiliki pengetahuan dan punya kekuatan dalam kebudayaan kearifan lokal.  Guru pun kita kembangkan dan kita buat rancangan terstruktur yang dampaknya harus dirasakan siswa melalui inovasi program-program harian sekolah," sambung dia.

Platform Merdeka Mengajar


Tak lupa, Syahrir meracik Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) untuk para siswa. Ragam program seperti penguatan kebangsaan, literasi, numerasi, keagamaan, gotong royong, keberagaman, hingga transformasi teknologi pun berjalan.
 
"Ini yang terus continue di sekolah, jadi yang saya genjot adalah guru harus bisa mengedepankan best practice yang dilandasi Kurikulum Merdeka," terangnya.
 
Tak berhenti di situ, Syahrir pun meminta para guru masuk dalam Platform Merdeka Mengajar (PMM). Di mana platform ini menjadi bagian dari episode yang sama dengan Kurikulum Merdeka.
 
PMM, kata Syahrir, menjadi nyawa guru dalam mewujudkan transformasi pendidikan di Indonesia. Semangat menguasai IT ini bukanlah pepesan kosong. Ia pun menggenjot guru agar segera melek IT, sehingga mampu maju memberikan pembelajaran yang lebih baik kepada para siswa.
 
Semangat itu pun ditangkap oleh Kemendikbudristek. Sekolahnya mendapat kiriman 18 Chromebook dari Kemendikbudristek untuk memaksimalkan pelayanan kepada siswa.
 
"Dari sini kita lebih semangat. Guru tidak cuma belajar dan melek IT, sekarang guru-guru kami juga berkembang, berkolaborasi. Inilah wajah guru Indonesia di Wajo. Dia punya semangat yang sama seperti guru yang berada di sekolah megah di Jakarta, Bandung, bahkan Surabaya," sebutnya.

Selaras dengan Semangat Mendikbudristek


Syahrir mengangkat topi untuk kerja keras Mendikbudristek, Nadiem Makarim beserta jajarannya. Kurikulum Merdeka dan PMM menjadi peluang bagi sekolah, guru, dan tentunya para peserta didik untuk memiliki kualitas pendidikan yang lebih paripurna.
 
"Mas Menteri itu mampu melihat dan memberi tahu kalau Anda punya semangat dan mau belajar, buka itu PMM.  Ilmu ada di situ, mau belajar tentang kurikulum ada di situ, itu nyambung antara semangat yang ada di daerah terpencil ini," tutur Nadiem.
 
Kini, jangan tanya lagi betapa dahaga ilmu telah melewati kerongkongan para guru siswa SDN 20. Kemerdekaan belajar pun telah dicapai paripurna.
 
"Mereka kini tertawa gembira, heboh, pembelajaran berjalan berdiferensiasi sesuai dengan gaya belajar anak, menjawab kebutuhan anak, layanan yang maksimal mengantarkan anak untuk memiliki pendidikan yang berkualitas," imbuhnya. 
 
Syahril juga mengungkapkan, lambat laun bibit-bibit profil pelajar Pancasila pun tumbuh dari dalam jiwa anak-anak di SDN 20. Kurikulum Merdeka telah mencetak profil itu hingga setiap anak pun kian merdeka berbudaya.
 
Para siswa, kata Syahrir, kini semakin "kaya". Mulai mengenal kebudayaan suku dan daerah sendiri hingga mampu merefleksikan sudut pandang di tengah keragaman budaya Nusantara.
 
Salah satunya, kata Syahrir, para siswanya kini diajarkan tradisi 'Mappatabe'. 'Mappatabe' telah diwariskan secara turun menurun oleh para leluhur Sulawesi Selatan khususnya masyarakat Bugis.
 
Tradisi ini merupakan sebuah bentuk penghormatan dari orang yang lebih muda kepada yang lebih tua maupun dituakan. Di mana ketika yang muda lewat di depan orang yang lebih tua dan dituakan maka ia harus menurunkan tangan dan menunduk.
 
"Ini menggambarkan adat sopan santun yang memiliki arti permisi. Budaya itu ditanamkan sebagai kearifan lokal," tuturnya.
 
Selain itu para siswa juga dikenalkan dengan budaya kesenian seperti musik dan tari. Para siswa SDN 20, kata dia, diajarkan bermain gendang dan menari sebagai kekayaan dirinya.
 
Pengenalan budaya itu, sebut Syahrir juga berlandaskan P5. Teori trikon ia jalankan kepada para siswanya.  Teori Trikon disampaikan Ki Hadjar Dewantara untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia.
 
"Kontinu, konvergen dan konsentris. Jadi budaya diajarkan agar dia terbangun, dijalankan terus menerus supaya tertanam. Kemudian dia memperlihatkan kepada suku lain sehingga dia juga bisa melihat dan mengerti budaya suku lainnya," imbuh Syahrir.
 
Bagi Syahrir, Merdeka Berbudaya, adalah kemerdekaan dalam menggali budaya sendiri dan mendapat ruang mengenal budaya lain.  "Sehingga anak-anak ini nantinya memiliki kuat dengan akarnya sendiri, ketika merantau dia punya kekuatan, dan ketika bertemu orang lain ia menjadi orang yang memiliki toleransi tinggi sehingga bisa diterima semua orang," jelasnya.

Dijalankan 300 Ribu Satuan Pendidikan


Praktik-praktik baik seperti yang ada di SDN 20 kemudian ternyata juga menjamur di berbagai daerah. Seiring dengan banyaknya satuan pendidikan yang mulai mengimplementasikan Kurikulum Merdeka.
 
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo menyebut, saat ini sudah ada 300 ribu satuan pendidikan yang mengimplementasikan Kurikulum Merdeka. Sebagian besar sekolah menerapkannya secara mandiri dan sukarela.
 
"Jadi sebagian besar satuan pendidikan sudah secara sukarela mulai belajar dan mengimplementasikan Kurikulum Merdeka," kata pria yang akrab disapa Nino ini.
 
Nino mengatakan, itu sejatinya tak menyoal berapa banyak sekolah yang akan menerapkan. Melainkan ia berharap dampak yang lebih baik terhadap sekolah ketika mengimplementasikan Kurikulum Merdeka.
 
Layar Merdeka Belajar Telah Terkembang, Asa Guru Perahu Kian Membentang
Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo. Foto: Zoom
 
Begitu pula dengan jalannya PMM. Ia berharap sekolah terus melakukan refleksi dan perbaikan pembelajaran melalui Kurikulum Merdeka dan PMM.
 
"Dan saat ini PMM terus disempurnakan dengan memperkaya konten pelatihan dan perangkat ajar, baik yang berasal dari Kemendikbudristek maupun dari para guru yang saling berbagi praktik-praktik baik," tutup Nino.

"Guru Perahu" Terus Berjalan


Konsep "guru perahu" yang digagas Syahrir pun terus berjalan. Meski kadang ditemui aral lintang dalam perjalanannya.
 
Pernah satu waktu, ketika perahu sudah dipenuhi bahan ajar dan siap berlayar, hujan deras menghantam, tak hanya perahu, namun juga semangat Syahrir dan para guru. Bayangkan, seperti apa jadinya mesti mendayung perahu di tengah danau dengan hujan deras. Hebohnya bukan main.
 
"Kami tidak pernah mengeluh, tapi malah tertawa itu guru kami. Dia telepon, Pak, kita kehujanan di tengah danau. Cari tempat berteduh, saya bilang. Dia bilang tempat berteduh? Tempat berteduh apa Pak? Di tengah danau ini. MasyaAllah. Kami akhirnya masuk di rumah terdekat untuk berteduh. Belum lagi ada perahu bocor. Jadi sudah luka di atas luka," selorohnya.
 
Layar Merdeka Belajar Telah Terkembang, Asa Guru Perahu Kian Membentang
Guru Perahu di SDN 20 Wajo. Foto: Dok. Pribadi
 
Namun duka-duka itu dihapuskan oleh lengkung senyum yang hadir di wajah siswanya. Ia menganalogikan, para siswa pun melihat Syahrir sebagai Iron Man sesungguhnya yang tengah nyangkut di atas perahu.
 
Syahrir pun tak pernah menyangka, begitu semangatnya para siswa untuk belajar di tengah badai pandemi dan keterbatasan. Melihat Syahrir dan para guru kian rapat ke daratan, satu per satu siswanya muncul.
 
"Mereka itu sebelum kita sampai ke rumah mereka itu, dari kejauhan terlihat berpakaian sekolah loh. Pakaian sekolah, mereka lengkap. Pakai tas, rambut diikat, pakai pita, pakai dasi. Pakai baju sekolah," seru Syahrir.
 
Baginya, seorang guru dan orang tua, mendapati anak dalam keadaan seperi itu, berarti ada api semangat dalam jiwa anak-anak untuk mau belajar. Dalam matanya, anak-anak itu siap untuk diisi dengan ilmu.
 
"Mereka lalu lompat-lompat. Dari jauh kita sudah diteriakin. Pung (panggilan untuk guru di Wajo), Pung kami mau belajar. Dari jauh itu di samping orang tuanya mereka sudah panggil berteriak-teriak, kami mau belajar," tutur Syahrir.
 
Dalam suasana yang dikenangnya haru itu, Syahrir menyelipkan doa. Jika mengingat hari-hari berlayar itu, ia selalu mengatakan kepada sembilan guru di sekolah tersebut, jika apa yang para guru lakukan hari ini akan tercatat di benak anak-anak didiknya kelak.
 
"Dan ingat, saat mereka sudah meninggal, kita semua meninggal, di yaumul hisab nanti itu pada saat anda akan dilempar ke neraka, akan ada satu siswa yang berteriak. Pak, jangan kasih masuk di neraka guru saya itu. Gara-gara dia itu saya bisa mengerti baca tulis, dan agama," kata dia.
 
Kegigihan Syahrir bersama sembilan guru di SDN 20 kini tak perlu diragukan. Tak pula ia berharap lebih kepada pemerintah.
 
Pun saat ditanya harapan kepada pemerintah, Syahrir bahkan hanya meminta perahu barang dua atau tiga lagi untuk mempercepat laju pengajaran bagi para siswanya.
 
"Kadang saya bilang ke teman-teman, jangan memikirkan sesuatu yang terlalu tinggi. Jadi saya bilang, perahu cukup dua atau tiga. Lagian hanya dipakai per enam bulan sekali. Tapi yang paling kami butuhkan saat ini bagaimana mengembangkan kompetensi guru, kompetensi mengajarnya, IT-nya, kemampuan digitalnya, itu sebenarnya yang dibutuhkan guru saat ini," pesan penggemar buku-buku karya Mira Widjaja dan Sutardji Colzoum Bachri itu.
 
Syahrir, sembilan guru dan sebuah perahu itu tak sekadar melintas di atas air danau Tempe. Syahrir dan para guru juga tak sekadar mengayun kayuh. Tapi mereka mengayun cinta, cita dan asa bagi 66 anak di SDN 20 Salomenraleng, kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
 
Besar "gelombang" tak menjadikan ia putar haluan. Ketika perahunya telah dikayuh ke tengah, tak ada kata surut, tak ada kata pulang. Seperti kata Buya Hamka.
 
"Semoga cerita ini sampai ke setiap guru Indonesia, dan orang tua, kepada setiap siswa. Semoga kita terus dalam keberkahan," tutup Syahrir.
 
Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow akun google news Medcom.id
 
Baca juga:  Nadiem Luncurkan Merdeka Belajar Episode 24 'Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan'
 
Baca juga:  5 Fakta tentang Program Wirausaha Merdeka 2023, Kamu Perlu Tahu

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(CEU)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan