Butet Manurung langsung terjun ke hutan, menemui para Orang Rimba. Ia melakukan pendekatan dan penelitian untuk lebih memahami kebutuhan mereka. Dibutuhkan kurang lebih tujuh bulan hingga Orang Rimba mau menerima dan akrab dengan kehadirannya.
Di lokasi kerjanya, ada 12 kelompok adat yang tersebar di area hutan seluas 60 ribu hektar tersebut. Perjalanan dari satu sisi ke sisi lain membutuhkan waktu empat hari. Ia kunjungi satu persatu kelompok masyarakat adat tersebut.
“Saya kunjungi satu persatu. Dan satu persatu pun menolak saya,” kenangnya.
Namun, pengalaman Butet di Palawa Unpad memberi kemampuan tinggi dalam hidup di tengah rimba. Pengalaman ini juga membuatnya kuat, tidak mudah menyerah.
Butet Manurung belajar keras bahasa mereka. Ini dibutuhkan sebagai kunci untuk berkomunikasi. Tidak hanya itu, Butet pun menggunakan sandang dan hidup layaknya kebiasaan mereka. Memakai sarung berkemban, ikut berburu dan memakan apa saja yang mereka makan. Mulai dari kancil, landak, ular, hingga kelelawar.
Kegigihan Butet terbayar sudah. Ia berhasil mendekati Orang Rimba. Mulailah Butet menjadi pengajar bagi masyarakat adat tersebut.
Beruntung, pengalaman studi di Sastra Indonesia Unpad memberikan bekal baginya. Meski bukan berlatar belakang sebagai guru, pengalaman Butet akan ilmu linguistik dan menulis sangat berguna untuk menyusun bahan ajar di rimba.
Ia bahkan menemukan metode baca-tulis yang disebut Silabel. Metode ini memungkinkan seorang anak bisa membaca dalam waktu dua minggu saja.
Seiring melanglangbuananya Sokola Institute, metode ini sudah diterapkan di seluruh wilayah di Indonesia dengan mengalami penyesuaian sesuai dengan fonologi setempat.
Lembaga Pertama
Sokola Institute menjadi lembaga pertama di Indonesia yang memfokuskan diri pada pendidikan bagi masyarakat adat. Di lembaga ini, para relawan guru dituntut menjunjung tinggi keahlian sebagai antropolog.
“Pendekatan etnografi kritis adalah salah satu ilmu wajib yang harus dimiliki para guru. Kami sadar bahwa tidak ada satu budaya yang lebih baik dari budaya lain, setiap budaya adalah yang terbaik bagi pemiliknya, dan bahwa kebudayaan itu adalah penentu kebertahanan hidup satu masyarakat,” tuturnya.
Warna Sokola sangat kental, setiap guru harus live in atau tinggal menetap di lapangan minimal dua tahun. Mereka juga wajib menggunakan bahasa dan beraktivitas layaknya masyarakat setempat.
Antropologi menjadi kultur utama dalam etos kerja relawan Sokola Institute di lapangan. “Saya sangat mencintai Antropologi. Menurut saya upaya kita mengenal budaya orang lain, justru membantu kita lebih mengenal diri sendiri. Ibarat kita kalau ke luar negeri, malahan kita semakin cinta Tanah Air kita, begitu kira-kira,” tulisnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News